Wednesday, February 1, 2012

Pariwisata Indonesia: problem dan solusi

Oleh Mohammad Iqbal

Bagi saya, daya saing Indonesia sebagai destinasi pariwisata (tourism destination) sangatlah rendah. Sehingga, untuk bisa bersaing mendatangkan wisatawan mancanegara (wisman, international tourist), kita harus menjual murah semua destinasi pariwisata yang kita miliki seperti Bali, Lombok, Batam, Jogja dan potensi pariwisata nasional lainnya.

Dulu, penilaian daya saing pariwisata Indonesia sudah pada ambang SOS alias emergency (gawat darurat) pernah digulirkan oleh Rhenald Kasali di sebuah harian nasional pada akhir tahun 2004. Argumen tersebut didasarkan data ranking dan skor yang dihimpun World Travel & Tourism Council dan World Bank.

Bagaimana tidak. Pariwisata Indonesia dan destinasi unggulan lainnya seperti Bali, Jogja dan Lombok selama lebih dari empat dasa warsa belakangan ini belum pernah sama sekali direncanakan, dikelola, dipasarkan dan dikontrol secara konseptual, terstruktur, sistematis, profesional dan proporsional. Akibatnya, dalam mengembangkan pariwisata, kita hanya mengandalkan keberuntungan dengan model pengelolaan yang seadanya.

Bali dan Indonesia BELUM pernah mencapai angka kunjungan dan perolehan devisa yang sepadan dengan potensi yang dimilikinya. Jika ada pihak yang berargumen bahwa masyarakat kita sudah merasa jenuh dengan kehadiran pariwisata, maka hal ini sama halnya dengan istilah “layu sebelum berkembang”.

Banyak pihak menilai bahwa strategi pembangunan pariwisata kita selama ini hanya mengejar pertumbuhan kedatangan wisatawan tanpa diimbangi upaya peningkatan kualitas (mass tourism). Menurut saya, dengan melihat kenyataan yang ada, sesungguhnya kita BELUM PERNAH menerapkan strategi semacam itu. Mungkin saja kita memiliki strategi pengelolaan pariwisata, tetapi strategi tersebut tidak pernah disusun secara terstruktur dan sistematis berdasarkan database dan research atau audit yang akurat. Dan pada kenyataannya, kita tidak pernah menerapkan model strategi apapun dengan benar.

Kok bisa? Mari kita buktikan. Kalau toh benar kita menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan wisatawan berarti kita berhasil meraup kunjungan wisatawan Internasional hingga lebih dari 15 juta per tahun sebagaimana pesaing kita Malaysia dan thailand yang menerapkan strategi serupa, dapat menerima kunjungan turis Internasional masing-masing 16 dan 17 juta per tahun. Kenyataannya, rekor Indonesia sampai saat ini hanya berkutat pada angka 7.5 juta dan Bali cuma 2 juta per tahun. Di tahun 2012 ini, pemerintah, lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif hanya menargetkan 8 juta wisatawan. Sungguh, suatu angka yang masih jauh dibawah ideal.

Bukti lain bahwa pemerintah kita tidak memiliki perencanaan pariwisata nasional yang baik adalah fakta tentang RAJA AMPAT. Baik pemerintah daerah maupun pusat kecolongan dan tidak tahu menahu bahwa kita punya potensi pariwisata yang luar biasa di wilayah Papua tersebut. Setelah tv Australia dan Perancis gencar memberitakan dan membuat suatu program tayangan adventure ke Raja Ampat, barulah kita ngeh dan tergopoh-gopoh membuat perencanaan lalu membuang-buang anggaran negara untuk alasan promosi yang belum tentu efektif. Saya yakin, kalau model pengelolaan pariwisata kita tetap seperti ini, maka selamanya, dimanapun potensi pariwisata kita temukan, maka potensi itu akan cepat rusak karena pembangunan yang tidak terkendali dan eksploitasi justru demi pariwisata yang tidak terencana itu sendiri.

Mari kita berbicara di tingkat Bali. Dengan kondisi alam, budaya, produk wisata dan infrastruktur yang dimiliki Pulau Dewata seperti saat ini, maka selayaknya Bali, jika memang benar menerapkan strategi pertumbuhan kunjungan, haruslah memperoleh minimal 5 juta wisman (wisatawan mancanegara) per tahun. Faktanya? Rekor Bali baru sampai 2 juta wisman per tahun.

Apa yang terjadi saat ini ialah; Paceklik Turis Mancanegara. Bila ada orang berargumen kita perlu membatasi jumlah kunjungan wisatawan ke Bali, maka hal demikian adalah argumen yang emosional, cenderung sangat tidak rasional, dan merupakan kekeliruan besar. Hal ini pastilah membawa dampak signifikan terhadap sendi-sendi perekonomian Bali secara luas.

Dalam kondisi seperti ini, maka hanya dengan meningkatkan kedatangan wisatwan Internasional mencapai 20 juta per tahun, maka masyarakat kita baru dapat menikmati manfaat ekonomi pariwisata yang senyatanya. Investasi pariwisata akan makin meningkat seiring dengan tingginya permintaan dibukanya industri serta fasilitas pokok dan penunjang pariwisata. Jumlah peluang kerja di bidang pariwisata akan makin meningkat, jasa transportasi akan bergerak lebih signifikan, hotel-hotel tidak akan gulung tikar (karena occupancy bisa mencapai setidaknya rata-rata 75% sepanjnag tahun), PAD (pendapatan asli daerah) meningkat, bahkan petani bawang merah di kaki gunung Batur, Kintamani, Bali sekalipun akan menerima manfaatnya.

Berdasarkan pengamatan saya, serta studi pengelolaan pariwisata dengan berbagai Tourism Board di negara lain, saya menyimpulkan problem pariwisata Indonesia (dan destinasi unggulan lainnya seperti Bali, Lombok, Jogja, dsb.) pada umumnya terfokus pda tiga hal mendasar, yakni; stakeholders consolidatioin, product development dan destination marketing & maketing communications.

Problem pertama, inkonsolidasi stakeholders merupakan akibat dari apa yang disebut oleh pakar hukum pariwisata asal Bali Ida Bagus Wyasa Putra sebagai kesalahan pendefinisian pariwisata. Pendefinisian dan pengertian pariwisata menurutnya kurang jelas, jika bukan keliru sama sekali. Pariwisata tidak secara tegas didefinisikan sebagai suatu bentuk PERDAGANGAN JASA (trade in services) yang melibatkan hampir segenap sektor industri dan pembangunan. Bagi sebagian kalangan, pariwisata masih dimengerti hanya sebatas kegiatan bisnis akomodasi dan perjalanan semata, dan bagi sebagian kalangan lainnya didefinisikan hanya sebatas kegiatan budaya (agent of cultural process/change). Pemahaman seperti ini tentulah sangat PARSIAL dan BERBAHAYA.

Kesalahan pemahaman ini meluas hingga ke semua level pemerintahan dan masyarakat. Bahwa siapa, menghasilkan apa dan seberapa banyak, hampir sangat jarang digunakan untuk memperhitungkan signifikansi pariwisata di negeri ini. Bahwa pariwisata menghasilkan devisa terbesar setelah sektor migas belum dapat dipahami oleh pejabat elit di pemerintahan pusat sekalipun. Inilah yang menyebabkan banyak pihak tidak bisa memahami the significance of tourism for economic and society welfare.

Jika sudah begini, apa akibatnya? Tentu, yang muncul adalah perlakuan yang salah. Sebagai suatu bentuk perdagangan jasa dan fenomena lintas sektoral, pariwisata memiliki karakteristik tersendiri, lingkungan bisnis tersendiri, dan memerlukan perlakuan-perlakuan yang bersifat khusus pula, baik terhadap komunitas pendukungnya (tourism business community), komponen-komponen lingkungan bisnis-nya (tourism business environment), maupun sektor apa saja yang terkait dengannya.

Masalah konsolidasi ialah problem kunci pariwisata negeri ini. Kita tidak akan pernah melangkah menyelesaikan problem kedua dan ketiga jika masalah konsolidasi lintas sektoral ini tidak pernah terselesaikan. Kita akan terus terpuruk dengan cara kerja yang tidak terintegrasi, tidak terstruktur, tidak satu visi dan berjalan sendiri-sendiri tanpa arah yang jelas.

Stakeholders pariwisata yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni private, public dan consumers/community sector sampai saat ini belum mampu bekerja untuk sebuah agenda pariwisata yang sama. Yang terjadi di Bali (dan juga di Indonesia) selama ini baru keterpaduan di private sector. Itupun sebatas industri inti pariwisata seperti akomodasi, usaha perjalanan wisata dan transportasi, obyek dan atraksi wisata. Belum pernah sekalipun terjadi integrasi kerja lintas sektor di lingkungan swasta, misalnya kerjasama antara pengusaha akomodasi dengan airlines, atau perusahaan transportasi/usaha perjalanan dengan telekomunikasi, perbankan, asuransi, terlebih dengan pengelola industri migas.

Lebih parah lagi, kebijakan pemerintah justru seringkali cenderung merugikan sektor pariwisata sebagai akibat dari lemahnya konsolidasi visi bersama antara private-public. Misalnya regulasi visa (imigrasi) yang jelas-jelas tidak menguntungkan sektor pariwisata. Juga misalnya, terlalu ketatnya clearance bea cukai bagi warga asing yang ingin membuat film promosi pariwisata di suatu destinasi wisata dalam negeri. Lebih jauh lagi, pada kenyataannya kita mengetahui bahwa sistem pengelolaan sampah, listrik, air, transportasi, telekomunikasi dan infrastruktur publik lainnya kurang mendukung bagi pengembangan pariwiasta yang berkualitas.

Setelah kita dapat menyelesaikan problem konsolidasi, maka tentunya dengan mudah kita akan dapat memperbaikai produk destinasi dan pemasarannya. Apa sih yang tidak bisa kita lakukan jika kita sudah bersatu? Solusi bagi problem kedua dan ketiga adalah rumusan masterplan yang holistik, sistematik dan integral, yang dijabarkan dalam sebuah tourism strategic plan berkelanjutan dengan rincian program kerja sesuai dengan potensi dan khasanah masing-masing destinasi. Implikasi dari rumusan strategic plan ini memberikan kejelasan apa dan bagaimana kita mengelola suatu destinasi pariwisata dan seberapa besar anggaran pengelolaannya. Kerjasama private-public sector yang terstruktur dengan baik adalah langkah awal menuju pengelolaan pariwisata yang professional & proportional sesuai dnegan prinsip good & clean governance yang telah lama kita dambakan.

Nah, dengan langkah seperti ini kita akan menjadi ”lebih tahu diri” dan ”tahu apa yang perlu dilakukan” dalam mengelola pariwisata yang merupakan stimulator bagi perekonomian suatu bangsa.

Penulis adalah praktisi pariwisata.

10 comments:

feri hartadi said...

Sebuah artikel yg membuka wawasan,semestinya dapat diaplikasikan dan tidak menjadi retorika semata.

Jika diperkenankan menambahkan, dari ceruk kecil mengenai pemasaran destinasi pariwisata,yang sesungguhnya perlu kita bangun dan tumbuhkan dalam konteks pariwisata nasional Indonesia adalah 'IDENTITAS KEBANGSAAN' yang hingga saat ini belum dapat dirumuskan dengan gamblang dan terukur.

Jargon pariwisata semata tidak cukup. Jika dianalogikan dengan branding produk, jargon yang kita miliki hanya ibarat 'tagline' saja, namun 'merek dagang' yang sesungguhnya belum kita miliki. Bahkan, salah satu pedagang franchise es teler saja punya merek, agar produknya bisa dikenal publik.

Dari pengamatan saya di berbagai even pasar wisata, baik di tingkat nasional, regional dan internasional, pengunjung yang datang ke anjungan milik 'destinasi Indonesia' sebagian besar hanya contacted buyers yang sudah memiliki jadwal temu dengan 'entitas bisnis' (marketer hotel/bpw yg beroperasi di Indonesia) yg notabene diwakili oleh GM atau Director of Sales berkebangsaan bukan pribumi (mohon statement ini jangan dikaitkan dulu dengan SARA, tapi coba kita kaji secara empiris obyektif dulu). Dengan demikian, seringkali terjadi pada hari-hari even pasar wisata, setelah hari 'business days (biasanya 4 hari pertama dari even dimaksud), anjungan Indonesia kosong, padahal setelah 'business days' tersebut adalah 'public day' dimana semua kalangan masyarakat (bukan hanya yg melakukan kontak bisnis korporasi) datang dan ingin mengenal tentang negara kita. Sayangnya mereka hanya akan menemui anjungan Indonesia yg kosong. Disini fungsi 'branding' pariwisata tidak dapat tersampaikan kepada publik. Akibatnya, banyak wisatawan potensial lebih memilih berlibur ke destinasi wisata lain yg 'lebih informatif dan komunikatif'

Singkatnya, coba cari jawaban yang gamblang atas satu pertanyaan ini, yang sering pula ditanyakan oleh calon wisatawan..

'Apakah yang bisa anda tawarkan dan yang benar-benar bisa saya dapatkan ketika saya berkunjung ke Indonesia?'

Bila kita sudah bisa setidaknya menjawab pertanyaan calon wisatawan tersebut, kita mungkin masih punya kesempatan mengembangkan pariwisata Indonesia ke arah yang lebih bermakna dan bermanfaat.

Terimakasih kepada moderator.

Feri Hartadi, SST.Par.
Pedagang furniture ex pelaku pariwisata
http://www.leolafurniture.com
Email:ferihartadi@gmail.com

Anonymous said...

Lalu bagaimana dengan peran media yang terus meliputt kekerasan dan konflik di indonesia.

Anonymous said...

Lalu bagaimana dengan peran media yang terus meliputt kekerasan dan konflik di indonesia.

Irfan (Stp Sahid Surakarta Student)

Unknown said...

Artikelnya bagus, saya ijin mengutip.

raybanoutlet001 said...

yeezy boost 350 white
ugg boots
ralph lauren uk
ray ban sunglasses
ugg boots
jordan shoes
michael kors outlet
fitflops sale
coach outlet
air jordan uk

adidas nmd said...

michael kors handbags
canada goose
patriots jerseys
kansas city chiefs jerseys
jordan shoes
new york knicks jersey
coach outlet store online
jordan shoes
eagles jerseys
armani outlet

raybanoutlet001 said...

chicago bulls
cheap nike shoes
prada shoes
packers jerseys
valentino shoes
ralph lauren outlet
hugo boss sale
canada goose outlet
green bay packers jerseys
jordan shoes

raybanoutlet001 said...

zzzzz2018.5.15
coach outlet online
nike factory store
bears jerseys
kate spade outlet
cowboys jerseys
pandora outlet
moncler online
pandora
new england patriots jerseys
moncler online

Unknown said...

qzz0609
thunder jerseys
football shirts
ugg outlet
jordan shoes
oakley sunglasses
polo outlet
uggs outlet
pandora charms
bcbg dresses
jimmy choo sunglasses

polison said...

replica goyard bags replica bags supplier replica bags karachi