Tuesday, August 7, 2012

Tiga Jam untuk Lebanon

Oleh: Sarie Febriane

KOMPAS.com - Berbuka puasalah dengan ”jallab”, minuman sari kurma dan air mawar yang manis dan harum. Seharum kelopak mawar dari Taif, kota di Arab Saudi yang menjadi saksi perjanjian penghentian perang di negeri cantik, Lebanon.  Lebanon, negeri yang sempat didera perang berkepanjangan ini, sebenarnya menyimpan khazanah kuliner yang menggoda. Di Jakarta, tak banyak pilihan restoran Lebanon, apalagi yang ditangani langsung oleh chef asal Lebanon. Satu pilihannya adalah Restoran Al Nafoura di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Atmosfer yang akrab dan hangat langsung menyapa begitu memasuki Al Nafoura dalam cahaya lampu temaram. Lantunan musik berirama khas Timur Tengah terdengar pelan menyusupi fantasi. Pedang-pedang bersapuh warna keemasan menghiasi segala sudut dinding bertekstur bebatuan putih.Tak lama lagi kita memang akan berperang, menyikat aneka sajian buffet yang tampak menggoda itu. Selama Ramadan ini, Al Nafoura menyajikan buffet dengan pilihan yang banyak, mulai dari hidangan pembuka, utama, hingga penutup.

Setelah membasuh kerongkongan dengan kesegaran jallab, petualangan bersantap dimulai dengan beragam hidangan pembuka yang tersaji di meja buffet tersendiri. Secara umum pilihannya serupa dengan masakan Timur Tengah, seperti hommos, moutable, babaganoush, tabouleh, labneh, salad segar, dan roti pita. Santapan tersebut umumnya terbuat dari aneka sayuran, seperti terung, serta kacang-kacangan, yogurt, dan perasan jeruk lemon. Ada pula keju halome (halloumi) dan shanklish. Keju shanklish ini merupakan keju berbumbu yang kerap ditemui dalam khazanah kuliner Lebanon, Palestina, dan Suriah. Biasanya dibentuk bulat seperti bola agak gepeng dengan tekstur gembur. Rasanya gurih beraroma rempah.

Kaki domba muda
Jangan terlalu bersemangat menyantap aneka hidangan pembuka tadi. Sisakan ruang di perut yang cukup longgar untuk sajian utama. Arie Ardianti, Marketing Communication Manager Hotel Le Meridien, mengatakan, tidak semua menu yang tersaji tersebut selalu ada di luar bulan Ramadhan. Menu khusus yang hanya keluar kala Ramadhan, di antaranya, harouf ouzi dalam porsi besar yang disajikan dalam nampan atau wadah besar berisi nasi mirip nasi kebuli.

Untuk porsi yang lebih mungil kita bisa mencicipi harouf ouzi yang berupa potongan kaki domba muda. Potongan kaki domba ini dimasak dengan direbus dahulu, dibaluri rempah, dan didiamkan selama beberapa waktu di dalam lemari es, kemudian baru dibakar di dalam tungku dengan kayu bakar. Kayu yang dipilih biasanya berasal dari pohon rambutan, yang dianggap memberi aroma sedap tersendiri bagi masakan.

Menikmati harouf ouzi dengan nasi berbumbu bisa lupa menyisakan ruang untuk makanan penutup. Kegurihan yang menyusup di antara serat-serat halus daging domba ini tidak intimidatif, tetapi benar-benar terasa hadir. Begitu lembutnya sampai-sampai kita bisa dibuat ragu bahwa daging domba tergolong daging merah. Begitu pula dengan nasinya yang semerbak oleh rempah. Akibatnya, kita tergoda untuk menyendok lagi, lagi, dan lagi.

Chef Hussein Sleiman, yang juga Executive Sous Chef di Le Meridien, menerangkan, ada dua macam bumbu khas yang senantiasa digunakan dalam masakan Lebanon. Keduanya adalah sumac atau soumak berwarna merah bata dan za’atar yang berwarna kekuningan. Sumac merupakan tanaman rempah dari keluarga Anacardiaceae yang mirip tanaman berry.  Bagian buah dari tanaman sumac inilah yang dijadikan bumbu dan banyak dipakai dalam aneka masakan khas Timur Tengah. Aromanya cukup kuat dan unik. Bumbu lainnya adalah za’atar, yakni berupa campuran oregano, calamintha (basil tyme), thymus, dan satureja. Terkadang campuran kering bumbu tersebut ditambah dengan biji wijen, sumac, dan garam.

”Masakan Lebanon juga banyak menggunakan lemon. Kami sangat senang lemon sebagai pemberi rasa asam yang menyegarkan. Di sini (Al Nafoura) sebenarnya saya agak mengurangi volume perasan lemon karena buat pengunjung orang Indonesia bisa dianggap terlalu asam,” kata Hussein.

Menurut Arie, sejak berdiri pada 1998, Al Nafoura hingga kini tak hanya menjadi langganan para ekspatriat asal Timur Tengah yang tinggal di Jakarta, tetapi juga ekspatriat negara-negara Barat dan orang Indonesia sendiri. Saat berbuka pun, pengunjung yang memenuhi restoran tampak datang dari beragam bangsa.

”Warak enab bil laham”
Masakan lain yang menggetarkan lidah malam itu adalah warak enab bil laham. Dipandang sekilas mungkin kurang menarik karena hanya berupa gulungan kecil daun berwarna gelap. Penampilannya mengingatkan pada masakan buntil dari kuliner Jawa. Bedanya, gulungan daun ini dipresentasikan lebih imut-imut untuk sekali suap. Meski warnanya tak menarik, coba gigit sedikit dan kita akan terkejut oleh kelegitan daun pembungkusnya.

Warak enab bil laham ini merupakan gulungan daun anggur yang berisi nasi dengan sedikit cincangan daging domba. Rasa gurih dan asam yang cukup kuat menjadi karakter yang menonjol dari sajian ini. Kehadiran daging domba malah tak terlalu terasa.

Seperti kata Chef Hussein tadi, perasan lemon juga menjadi cita rasa krusial bagi warak enab bil laham. Membuatnya ternyata tak repot. Beras dicampur dengan cincangan daging domba dan rempah, lalu digulung dengan beberapa lembar daun anggur hingga cukup tebal. Gulungan-gulungan ini kemudian dimasak dalam rendaman air tomat dan perasan lemon hingga beras tanak menjadi nasi. Sederhana memang, tetapi menghasilkan cita rasa akhir yang mengesankan. Warak enab bil laham ini juga nikmat dinikmati dengan nasi berbumbu tadi. Tak perlu khawatir lidah didera kegurihan berlebihan karena keasaman lemon tahu betul memainkan perannya.

Sekadar saran, luangkan waktu sekitar tiga jam untuk menikmati masakan Lebanon sejak hidangan pembuka hingga penutup. Lagipula, apalah artinya waktu untuk mengecap perlahan hidangan nikmat dari negeri cantik ini?

Source: www.Kompas.com
http://travel.kompas.com/read/2012/08/06/16010553/Tiga.Jam.untuk.Lebanon

No comments: