Saturday, January 19, 2013

Mengelola Kesibukan Di Kantor


Oleh:
Dadang Kadarusman

Dalam beberapa hari terakhir, kita sudah membahas tentang kesibukan dari berbagai aspek. Hingga kita memahami bahwa ada kesibukan semu. Yaitu kebibukan yang kita klaim. Kita ini sebenarnya tidak sibuk. Tapi kita merasa sibuk sekali. Itu yang kita sebut sebagai sibuk dari Hong Kong. Yang kedua adalah kesibukan yang sebenarnya. Nggak dibuat-buat. Kita benar-benar sibuk hingga ke ubun-ubun. Sekalipun demikian, sejauh ini kita baru membahas kesibukan itu dari aspek pribadi. Artinya, bagaimana kita secara pribadi menyikapi kesibukan itu. Agar efektivitas dan produktivitas pribadi bisa tetap terpelihara. Pertanyaannya adalah; apakah kesibukan itu bisa diatasi secara kelembagaan, system atau melalui kebijakan? Supaya sebanyak apapun pekerjaan, karyawan bisa menikmati hari-hari kerjanya. Dan terus bersemangat dalam jangka panjang. Gampangnya begini; sebagai seorang pemimpin, bisakah Anda membantu perusahaan dan anak buah Anda untuk mengelola kesibukan hingga ke ubun-ubun itu secara tepat?
 
Jika mengenang kisah itu, saya masih suka senyum-senyum sendiri. Saya ceritakan ya, tapi disamarkan detailnya. Dikantor kami dulu ada atasan yang betah sekali bekerja. Efek sampingnya adalah; anak buahnya jadi sungkan kalau mau pulang. Padahal, untuk meninggalkan kantor, mereka mesti melintasi ruang kerja beliau. Ada teman nih, yang sudah nggak tahan. Pengen pulang. Wajar dong, kan sudah malam. Maka dia pun mengendap-endap menuju pintu keluar. Sudah bagus sih tekniknya. Tidak ada suara dari sepatunya. Tidak ada hal apapun yang mencurigakan. Maka, kawan kita pun melanjutkan jinjitnya sambil membungkuk. Ndilalah. Selagi merayap itu, bossnya kepingin ke toilet. Maka beliau pun bergegas keluar dari ruangannya. Pas didepan pintu, beliau melihat anak buahnya sedang merayap dengan tubuh yang ditekuk. Mereka pun sama-sama terperanjatnya. Yang satu terkejut karena ketahuan. Yang satu lagi terkejut karena mengira ada mahluk jadi-jadian. Ini salah satu contoh dampak dari tata kelola yang keliru terhadap kesibukan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mengelola kesibukan yang terjadi di kantor, saya ajak memulainya dengan memahami dan menerapkan 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™)berikut ini:   
 
1.      Kesibukan itu bukan rutinitas. Salah satu ciri kesibukan yang sebenarnya adalah; tidak terjadi setiap hari secara terus menerus. Sengaja saya menggunakan kalimat negatif ini; “tidak terjadi setiap hari secara terus menerus”. Mengapa? Karena kita sering keliru mengira bahwa team kerja atau perusahaan yang paling baik adalah team kerja yang setiap hari bekerja pak pik pek terus. Selalu mulai paling awal. Dan selalu selesai paling akhir. Dengan mulut manyun dan muka kusyut sepanjang waktu. Padahal, jika kesibukan itu sudah menjadi sebuah rutinitas, maka ada kemungkinan bahwa hal itu terjadi karena ada yang salah dalam cara kerja atau proses bisnis mereka. Jadi, jika team kerja yang Anda pimpin ‘selalu’ sibuk sehingga hal-hal rutin berupa tugas-tugas pokok harian itu sudah menyita waktu dan energy yang sedemikian banyaknya, sebaiknya jangan berbangga hati dulu. Karena boleh jadi, justru hal merupakan sebuah sinyal adanya ketidakberesan dalam pola kerja team Anda. Hampir bisa dipastikan, bahwa kesibukan sampai keubun-ubun yang menjadi rutinitas bukan kesibukan yang tepat. Karena kesibukan itu, bukan sebuah rutinitas.
 
2.      Temukan alasan logis munculnya kesibukan itu. Penting lho, untuk menemukan alasan yang logis tentang munculnya kesibukan yang kita alami. Misalnya, sedang ada proyek yang sudah mendekati deadline. Atau sedang ada jadwal submission laporan keuangan kuartalan ke kantor pusat. Atau, system sedang crash sehingga mesti segera diatasi. Perhatikan kembali ketiga situasi diatas. Semuanya menuntut kita bekerja sampai larut malam. Bahkan mesti sampai menginap. Namun sangat jelas alasannya. Karena ada sesuatu yang istimewa a.k.a kejadian luar biasa yang menuntut kita untuk bekerja dengan kesibukan luar biasa. Perhatikan frase ‘luar biasa’ yang saya gunakan. Itu menunjukkan bahwa kesibukan hingga ke ubun-ubun bukanlah untuk hal-hal yang biasa-biasa saja. Bukan untuk tugas harian normal. Dan bukan untuk kesibukan yang tidak jelas alasannya. Ketika kita bisa menunjukkan alasan logis itu kepada anak buah; maka mereka juga akan mudah untuk memahami, dan menerima konsekuensinya. Yaitu berupa; dukungan penuh dari mereka untuk bekerja ‘habis-habisan’ dalam situasi yang sudah mereka pahami secara logis itu. Ini menunjukkan bahwa alasan logis, bisa menggungah aspek nurani anak buah kita. So, temukan alasan logisnya; maka anak buah Anda akan berkomitmen penuh mendukungnya.
 
3.      Menjadi pemain utama dalam gelangggang kesibukan. “Gimana, sudah selesai?” Pertanyaan itu bisa menjadi sangat menyebalkan, jika datang dari atasan yang dia sendiri tidak ikut terlibat dalam kesibukan anak buahnya. Bayangkan deh. Anda dihadapkan pada situasi urgent sekali. Maka Anda punya alasan logis untuk sibuk banget kan? Tapi atasan Anda cuman ongkang-ongkang kali doang. Terus dia bertanya seperti tadi. Mending kalau Anda beneran sudah selesai. Kalau belum, “pengen diapain ya itu orang?”  kira-kira begitulah serapah dalam hati Anda bukan? Tapi. Pertanyaan itu juga bisa terdengar merdu, jika keluar dari mulut seorang atasan yang ikut terlibat langsung dalam kesibukan yang minta ampun itu. Anda senang mendapat pertanyaan itu, karena beliau ikut merasakan ketegangan dan kesulitannya bersama Anda. “Belum Pak, dikit lagi nih…” kan begitu jawabnya kira-kira. Coba kalau beliau bertanya sambil asyik sendiri di ruang kerjanya? Anda tidak akan punya semangat untuk menyelesaikannya. Kira-kira sikap seperti itu jugalah yang akan terjadi, jika kita yang menjadi atasan itu. Anak buah kita, akan respek kepada kita jika kita pun ikut terlibat. Bukan cuman nonton doang. Merintah-merintah melulu. Padahal kita sendiri asyik-asyik aja. So, jadilah pemain utama dalam gelanggang kesibukan itu bersama anak buah Anda.
 
4.      Kesibukan pribadi bukan kesibukan kolektif. “Kan sudah jadi konsekuensi kalian. Mau jadi pegawai tapi tidak mau sibuk? Kerja di perusahaan nenek kamu sendiri saja kalau begitu,” begitulah kira-kira tuntutan seorang atasan kepada anak buahnya. Beliau, memang dikenal sebagai orang yang sangat rajin bekerja. Datang selalu paling pagi. Pulang selalu paling malam. Jika yang menjadi beliau itu Anda, maka ketahuilah; bahwa cara kerja Anda itu tidak akan bisa diikuti oleh anak buah. Kenapa? Karena mereka, bukanlah Anda. Boleh saja jika Anda mau kerja extra terus menerus. Tapi, Anda bahkan tidak berhak menuntut hal yang sama dari anak buah Anda. Banyak lho, atasan yang gila kerja kemudian menuntut anak buahnya juga berperilaku sama. “Elo belum boleh pulang, kalau gue belum pulang!” Walhasil, beliau selalu memandang negatif anak buahnya yang tidak dikantor selama beliau. Sedangkan anak buahnya merasa diperlakukan seperti robot. Tidak nyambung deh antara atasan dan bawahan. Jadi jika Anda berada pada posisi sebagai atasan dan Anda suka sekali kerja extra, maka penting juga untuk Anda pahami bahwa pola kesibukan pribadi kita, tidak bisa dipaksakan untuk menjadi pola kesibukan kolektif di lingkungan atau team yang kita pimpin.
 
5.      Terlihat baik, belum tentu baik-baik saja “Nggak masalah kok Dang. Selama ini baik-baik saja.” Pernahkah Anda mendengar kalimat seperti itu? Kalimat yang datang dari atasan yang mengira team kerjanya baik-baik saja. Padahal sebenarnya tidak. Indikasinya apa? Satu, anak buah suka ngomongin di belakang. Dua, anak buahnya suka menggerutu. Tiga, anak buahnya giat hanya jika beliau ada. Empat, beliau sendiri mesti cape mengecek bolak balik. Lima – yang lebih parah nih – tingkat turn over karyawan di team kerjanya tinggi. Mungkin kinerjanya juga tinggi lho, memang. Namun, keberhasilan sebuah kepemimpinan tidaklah semata-mata diukur dengan angka-angka produksi. Melainkan juga dari tingkat kenyamanan dan kesediaan anak buah kita untuk tinggal bersama kita di team yang kita pimpin. Banyak lho atasan yang merasa bangga karena team kerjanya selalu menghasilkan kinerja yang tinggi dari hasil memforsir anak buahnya terus menerus. Makanya, mereka mengira semuanya baik-baik saja. Padahal, anak buahnya pada sibuk membeli koran hari sabtu dan minggu. Itu yang sering sekali mereka tidak tahu.
 
Hloh!
Bukankah perusahaan untung jika karyawannya di buat sibuk sampai ke ubun-ubun secara terus menerus? Benar. Namun keuntungan yang didapat perusahaan dengan cara seperti itu hanya bersifat sesaat. Dalam jangka panjang, justru perusahaan yang rugi. Misalnya kerugian dari perginya talenta-talenta terbaik kita. Soal talenta ini, kita tidak bisa mengatakan;”gampanglah, cari saja gantinya. Banyak kok yang mau kerja.” Hati-hati. Yang mau kerja memang banyak. Tapi yang benar-benar punya talenta terasah? Nggak semudah yang kita kira untuk kembali menggaet mereka. Belum lagi kalau dihitung biayanya. Waktu yang tersita. Sumber daya lain yang tidak terdayagunakan secara optimal. Ujung-ujungnya, zero sump up juga. Jadi, siapa yang paling bertanggungjawab untuk mengatasi hal ini? Setiap orang yang punya anak buah. Tidak masalah titelnya apa. Juga tidak jadi soal levelnya seberapa. Jika punya anak buah; maka kita punya kewajiban untuk mengelola kesibukan di kantor dengan sebaik-baiknya.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Leadership and Personnel Development Trainer
Phone: 0812 19899 737 (PIN BB: 2A495F1D)   
 
Catatan Kaki:
Orang kerja memang harus sibuk setiap hari. Tapi, kesibukan luar biasa hanya bisa dimakulmi ketika perusahaan sedang menghadapi situasi yang juga luar biasa.
 
Ingin mendapatkan kiriman “L (= Leaderism)” secara rutin langsung dari Dadang Kadarusman?  Kunjungi dan bergabung di http://finance.groups.yahoo.com/group/NatIn/
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.


No comments: