Pages

Saturday, January 19, 2013

Pengertian Wisatawan


Oleh Mohammad Iqbal

“Ketika ada seseorang mengunjungi temannya ke negara lain, apakah ia seorang wisatawan (tourist)? Jika seseorang melakukan perjalanan ke negara lain dalam rangka tugas kerja, apakah ia seorang wisatawan? Bila serombongan keluarga pergi ke Indonesia selama seminggu untuk beristirahat dan mencari panas sinar matahari, apakah mereka wisatawan? Atau jika Anda sendiri berkunjung ke tetangga Anda ke kampung sebelah, apakah Anda dikategorikan wisatawan? Kemungkinan jawaban semua pertanyaan itu adalah ‘ya’.”
(Nielsen, 2001:11)

Jadi siapa itu Wisatawan? Pendifinisian terminologi “wisatawan” sebenarnya telah banyak dibincangkan para peneliti sosial dan psikologi semenjak dulu sekitar tahun 30an. Namun batasan pasti yang dianggap paling bisa diterima secara global dan mendapat pengakuan yang melembaga oleh WTO baru terwujud pada tahun 60an.  Peneliti-peneliti seperti Coltman (1930), Kaiser & Helber (1934), Wall (1954), Matheison (1954), McIntosh (1972), Salah Wahab (1975), adalah insan-insan pemikir jaman pra abad 21 yang banyak berjasa menyumbangkan pemikiran tentang konsep pariwisata dan wisatawan. Selanjutnya di era 90an muncul nama-nama seperti Inskeep (1991), Foster (1994) Harssel (1994), yang turut memperkaya khasanah dan hiruk-pikuk perkembangan pariwisata sebagai ilmu.

Dalam kaitannya dengan membatasi definisi wiatawan, selain para peneliti tersebut, ternyata beberapa negara yang memiliki perhatian serius terhadap sektor pariwisata, juga mengeluarkan batasan tersendiri. Sebut saja Italia yang kemudian berhasil mendefinisikan wisatawan melalui konfrensi Roma-nya (1963), Amerika Serikat dengan Konfrensi New York-nya (1954), Australia dengan ATC-nya (Australian Tourism Commision, 1992) dan Indonesia dengan Inpres No 9/1969. Makin marak lagi, pariwisata modern mendapat sumbangan pemikiran dari kelompok-kelompok dan badan-badan dunia pemerhati pariwisata. Muncullah sumbangan-sumbangan dari International Union of Official Travel Organization (IUOTO,1963), Pacific Area Travel Association (PATA), United Nation Organization  (UNO), International Airlines & Travel Agencies Association (IATA), American Hotel Motel Association (AHMA), dan World Travel Organization (WTO, 1960).

Di Indonesia, peneliti pariwisata sekelas Oka A Yoeti juga turut memberi sumbangan batasan tentang siapa itu wisatawan. Menurut Yoeti, untuk bisa masuk dalam kategori wisatawan, maka setidaknya seseorang haruslah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Melakukan perjalanan itu lebih dari 24 jam.
- Perjalanan itu dilakukan hanya untuk sementara waktu.
- Orang yang melakukannya tidak mencari nafkah di tempat atau  negara yang dikunjunginya.

Yoeti menegaskan, bahwa satu syarat di atas tidak dipenuhi, maka dua syarat yang lain menjadi gugur. Oleh karena itu, suatu batasan yang memenuhi syarat haruslah mencakup ketiga syarat di atas tanpa satupun yang ditinggalkan.

Selanjutnya mari kita kaji ciri-ciri atau syarat-syarat yang dikemukakan Yoeti diatas. Pertama, mengenai durasi aktifitas perjalanan. Yoeti menyatakan bahwa seorang perjalanan seorang wisatawan setidaknya dilakukan lebih dari 24 jam. Dengan pernyataan ini, dari segi waktu perjalanan, Yoeti ingin membedakan siapa itu wisatawan (tourist) dan siapa itu pelancong (excursionist) sebagaimana yang dikemukakan oleh Organization of Economic Coorporation and Development (OECD, 1970).  Dalam hal ini organissasi tersebut menyatakan;
“... a person become a tourist if he visits a place at least 24 hours; if for a shorter period, i.g. under 24 hours, he is counted as an excursionist”.
(OECD, 1970 dam Yoeti, 1993)

Lalu sampai kapan atau berapa lama batas maksimum perjalanan itu dilaksanakan? Nampaknya Yoeti tidak begitu tertarik memperhatikan hal ini, sehingga ia tidak mencantumkan batas maksimum perjalanan dalam syarat yang ia kemukakan. Untuk itu, ada baiknya kita menengok batasan wisatawan yang dikeluarkan Konfrensi New York di tahun 1954;
“Istilah wisatawan harus diartikan sebagai seseorang, tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa dan agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan  perjanjian yang lain dari pada negara dimana orang itu biasanya tinggal dan berada  disitu tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan di dalam jangka waktu 12 bulan berturut-turut, untuk tujuan yang legal, seperti misalnya perjalanan wisata, rekreasi, olahraga, kesehatan, alasan keluarga, studi, ibadah, keagamaan atau urusan usaha (bussines)”.

Dari definisi diatas, jelas secara eksplisit menekankan perihal masa atau lamanya aktifitas perjalanan itu dilakukan, yaitu setidaknya 24 jam dan tidak melebihi dari 6 bulan. Argumentasi seperti ini sangat dapat diterima mengingat seorang yang berdomisili di negara lain melebihi dari 6 bulan berturut-turut, tentulah bukan dalam rangka berwisata, akan tetapi dapat dipastikan dalam rangka kegiatan non-leisure lainnya seperti bisnis, berdagang, kerja, kuliah, atau bahkan menetap untuk menjalani proses menjadi warga negara tersebut.

Kedua, perjalanan seorang wisatawan bersifat sementara waktu. Ia tidak dapat menetap lebih dari 6 bulan dari suatu negara lain dan ada niat kembali ke negara asalnya.  Dari konsep ini dapat dipahami bahwa maksud dari sementara waktu ialah adanya proses perjalanan dari tempat asal (tourist generating country) menuju tempat tujuan (tourist receiving country) dan sebaliknya ada proses “mudik” atau kembali dari destinasi wisata menuju tempat asalnya. Secara singkat dapat dikatakan ada proses pergi ke destinasi dan sekaligus akan dilakukan proses pulang dari destinasi menuju rumah atau tempat asalnya.

Selain itu, sifat “sementara waktu” jika dikaitkan dengan istilah inggris tour dan istilah sanksekerta pari (perpindahan dari sutu tempat ke tempat lain) dapat diartikan sebagai aktifitas perputaran, atau perpindahan atau perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain. Dengan artian semacam ini menunjukkan adanya sifat kesementaraan waktu, mengingat perjalanan tersebut berputar atau berpindah dari suatu tempat ke tempat lain.

Ketiga, seorang wisatawan tidak mencari nafkah di tempat atau negara yang dikunjunginya. Melalui pernyataan ini, Yoeti nampaknya ingin menyampaikan tentang motivasi, alasan atau tujuan melakukan perjalanan wisata. Seperti yang dipaparkan Glenn F. Ross (1994), bahwa ada banyak ragam teori motivasi melakukan perjalanan. Dari teori kebutuhan versi Maslow (1943,1954,1965), teori klasifikasi motivasi keluaran Murray, hingga teori-teori kuasi-psikologi yang dianut Bukart dan Medlik (1981), Gray (1970), Dann (1977), McIntosh (1977), Crompton (1979b), Mayo dan Jarvis (1981), Pearce (1982c), Mannell dan Iso-Ahola (1987), Krippendorf (1987) dan Schmidhauser (1989. Akan tetapi dari sisi kepentingan bisnis pada sektor pariwisata itu sendiri dan utamanya untuk kebutuhan statistik, tidak begitu memusingkan variasi teori tersebut, melainkan lebih tertumpu pada satu tujuan utama melakukan perjalanan wisata (Iqbal, 1997:6), yaitu tujuan non-imigran. Tujuan non-imigran ini menurut Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa diklasifikasikan ke dalam dua tujuan (pasal 5 Resolusi PBB no. 870, dalam Yoeti, 1993:123), yaitu:
 
Pertama,
Plesir, melancong atau bersenang-senang (leisure), seperti untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan dan olah raga.
 
Kedua,
Hubungan dagang (business), keluarga, konfrensi dan misi.

Jadi, dari uraian definisi dan pengertian wisatawan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa wisatawan ialah individu atau sekelompok individu yang melakukan perjalanan dari tempat asalnya ke tempat/negara lain dan berada di tempat tersebut tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan untuk tujuan tujuan bersenang-senang dan non-imigran serta tidak untuk mencari nafkah.
 

[1] Lihat saja karya Ross yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Psikologi Pariwisata”, terjemahan Marianto Samosir -ed.1- Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

- - - - - - - - - - - -
 
Mohammad Iqbal, SST.Par adalah sarjana pariwisata Universitas Udayana, Bali. Telah mengamati perkembangan pariwisata Bali dan Indonesia sejak tahun 1997, sebagai hotelier kini bekerja pada  bagian Komunikasi Pemasaran di The Media Hotel & Towers, Jakarta. 

9 comments:

  1. I feel this is among the such a lot vital info for me. And i am satisfied studying your article. However wanna commentary on few general things, The website style is ideal, the articles is truly nice
    Tangki Panel
    Tangki Fiberglass
    Jual Septic Tank

    ReplyDelete