Part 1, Basic Strategy: "Bertahan"
oleh: Mohammad Iqbal, SST.Par *
Wabah Covid-19 ini begitu dahsyat. Dampaknya yang masif bukan hanya
meruntuhkan aspek kesehatan, melainkan juga mengguncang hampir semua lini
kehidupan. Perekonomian dan dunia usaha apapun sektornya, dimanapun berada, pastilah
TERDAMPAK.
Apakah selalu DAMPAK negatif? Eit, tunggu dulu, ada juga sektor yang
terDAMPAK positif, bahkan tumbuh berkembang, karena sejatinya, di setiap masa
krisis, selalu ada saja yang THE FALL dan THE RISE.
The RISE..! Industri farmasi
dan alat kesehatan saya kira yang pertama-tama makin tumbuh dan berkembang. SEelain
itu, garmen dengan kebutuhan khusus (mask, APD, dll), manufaktur dan retail
bidang kebersihan/chemical (detergen, sabun, dll), internet, delivery service,
online service, home education, home intertainment, dan lain sebagainya yang
berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia untuk bisa diantar dan dinikmati #dirumahaja. Kini mereka panen.
Bagaimana dengan the FALL?
Mungkin usaha yang terpapar negatif jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Misalnya
yang pertama-tama kali merasakan adalah pariwisata (obyek wisata, taman
rekreasi, travel, perhotelan, cafe, dine-in based restaurant), MICE (meeting, insentive, conference,
exhibition), kemudian usaha transportasi, semua perdagangan yang non kebutuhan
sehari-hari, sektor UMKM, dan selanjutnya semua sektor yang bersifat tersier
seperti live entertainment (concert,
orkes dangdutan), event organizer, properti, konstruksi, tekstil dan garmen
non-medis, otomotif, dan masih banyak lagi.
Dampak Wabah Covid terhadap
Bisnis Rumah Makan (Food & Beverage)
Nah, usaha di bidang kuliner dan restoran juga ikut terdampak. Meskipun
dalam Pergub DKI Jakarta No. 33 Th. 2020 pasal 10 ayat 3 disebutkan bahwa usaha
penyedia makanan masih diperbolehkan melakukan aktifitas dengan pembatasan,
namun tetap saja penjualan mengalami penurunan yang signifikan.
Tercatat sejak tanggal 16 Maret 2020, sales revenue di semua cabang BarBurGer mengalami grafik penurunan yang
bertahap, perlahan namun pasti, hari per hari omzet sedikit demi sedikit terkikis
dan drastisnya terjadi sejak diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala
Besar). Hal yang sama juga berlaku pada brand dBestO Chicken & Burger.
Parahnya lagi, bagi usaha restoran atau rumah makan yang karakternya adalah
mengusung kenyamanan dine-in seperti steakhouse Barapi Meat & Grill, penurunanannya lebih
ekstrim, karena pelanggan DILARANG makan di tempat (dine-in), di masa pandemi ini.
Pada dasarnya, dari segi layanan, setidaknya ada 2 jenis rumah makan
yang terdampak dengan kadar berbeda. Pertama; restoran FASTFOOD dan yang
terbiasa dengan layanan cepat khas takeaway/delivery service. Kedua; restoran
DINE-IN yang karakter hidangan dan konsep layanannya adalah full-service
dining.
Dua jenis restoran ini mengalami dampak yang berbeda. Fastfood
cenderung masih bisa bertahan karena selama ini sudah terbiasa melayani
take-away, drive-thru, delivery service dan online delivery berbasis aplikasi,
dan ditunjang dengan harga yang cenderung murah karena menu yang ditawarkan
bersifat sangat basic n simple,
misalnya ayam goreng plus nasi. Murah, tetap enak dibawa pulang atau dipesan
antar dan mudah dipanaskan kembali untuk disajikan nanti.
Umumnya, resto kategori ini masih bisa survive secara alami. Tidak “ngapa-ngapain” aja memang gofood dan
grabfoodnya sudah ramai. Sebelum ada covid, pelanggan sudah biasa order untuk
takeaway. Nah saat pendemi ini, beberapa brand omzet dari sisi order takeaway-nya
malah meningkat. Contoh; McDonald, BarBurGer, KFC, Geprek Bensu, dBestO, Hokben,
Haus dan lain sebagainya. Brand-brand yang saya sebut ini tentulah mengalami
penurunan revenue, tetapi masih mending lah.
Berbeda dengan kategori kedua, yaitu resto yang image, konsep dan
layanannya mengutamakan kenyamanan
pengalaman santap hidangan di tempat (dine-in
service), pastinya mengalami dampak yang lebih berat. Ditambah lagi, bila
menu yang ditawarkan selama ini adalah menu yang oleh konsumen dikenal sebagai makanan yang “lebih lezat” bila dihidangkan langsung
ditempat. Diperperah lagi bila harga menu di kelas menengah keatas. Makin
tragis lagi, bila resto ini berada di area obyek wisata, taman rekreasi atau di
dalam mall. Paket komplit lah jadinya. Contoh, HolyCow, SushiTei, Barapi Meat
& Grill, SeribuRasa, Nanny’s Pavillon, Chilis, TGIF, Fish&Co,
Remboelan, dan masih banyak lagi. Oh ya, tentunya semua resto grade A dan B
(mewah n mahal) yang berlokasi di Mall juga keok, karena mall-nya tutup
operasional.
Nah, sebenarnya masih ada lagi yang terparah, yaitu jenis Cafe &
Resto yang memiliki nightlife dan entertainment, yang murni mengunggulkan
entertainment ambience, nitelife dan lifestyle. Umumnya ada di dalam hotel
bintang lima atau Cafe-Bar-Pub yang berlokasi independent namun harus terpaksa
tutup karena aturan jam malam.
Bertahanlah!
Lalu apa saja upaya dan bagaimana agar usaha kuliner bisa bertahan di
masa resesi ini? Sebelum menjawabnya, terlebih dahulu saya perjelas bahwa di
saat seperti ini faktor penjualan (sales) yang sangat terkait dengan kondisi
psikologi, perilaku, mood dan opini pelanggan itu sangatlah bersifat EXTERNAL
dan relatif SULIT DIKENDALIKAN.
Oleh karena itu, kendalikanlah faktor2 yang memang masih bisa kita
kontrol secara INTERNAL. Apa saja itu? Pastinya, bukanlah aspek penjualan. Berikut
adalah opini saya pribadi dari sudut pandang pelaku usaha penyedia makanan,
antara lain:
1.
Expenses
2. COGS
3. Utility
Cost
4.
Manpower
Pengeluaran (Expenses)
Inilah faktor pertama kali yang paling bisa kita kendalikan, yaitu
aspek PENGELUARAN. Intinya, belanjalah yang seperlunya. Hemat-hematlah dalam
pengeluaran. Belilah keperluan yang basic, mendasar dan yang penting-penting
saja. Jumlahnyapun kalau bisa seperempat atau setengah dari yang biasa dibeli
saat kondisi normal. Kalau bisa “ngutang” ya hutang dulu, bayarnya nanti-nanti
saja. Belanja untuk keperluan investasi? Untuk saat ini, buang jauh-jauh
pikiran kotor itu! Gak penting!
Di usaha resto biasanya keperluan sehari–hari seperti beli plastik,
uang parkir, detergen, chemical,dan hal-hal pelangkap lainnya. Ingat, seperlunya saja.
Bahan Baku (dan semua yang masuk
kategori variable cost)
Dalam usaha resto, dikenal dengan sitilah COGS (Cost of Good Sold),
yaitu semua bahan-bahan atau item-item yang menjadi unsur tersusunnya suatu
produk (dalam hal ini adalah menu makanan), yang bisa diperhitungkan (plus atau
minus) bila suatu produk itu terjual.
Bila tidak terjual, tapi berkurang, berarti menjadi waste atau lost.
Gampangnya disebut bahan baku. Ini termasuk apa saja yang melekat pada produk,
sekecil apapun itu, termasuk packaging, saus sachet, sendok/garpu plastik, dan
lain-lain, banyak printilannya.
Nah, prinsipnya hampir sama seperti expenses. Harus efisien, tidak ada
lost, tidak ada rusak. Berkurangnya harus karena terjual, bukan terhutang,
bukan hilang atau rusak dan basi. Karena bila tidak, makan akan menjadi beban
yang tinggi. Oleh karena itu karyawan haruslah order atau beli bahan baku yang
secukupnya saja, jangan menumpuk stock, harus berdasarkan FIFO (first in first
out) dan harus berdasarkan prediksi penjualan yang sedang sepi ini.
Bahan baku harus disimpan dengan higienis dan aman, serta terdata atau
terinventory dengan tertib dan rapi, setiap hari. Bila tidak tercatat rapi,
berhentilah usaha resto, karena itulah paru-parunya bisnis boga.
COGS ini gambarannya seperti neraca timbangan, semakin tinggi
penjualan, maka prosentase COGS semakin
rendah. Bila tidak, berarti ada yang tidak beres dalam perumusan harga, atau
ada yang waste/lost. Kesimpulannya prosentase COGS terhadap SALES harus ditekan
sebisa mungkin.
Biaya Energi (Utility Cost)
Biasanya ini meliputi listrik, air, dan gas. Terapkan prinsip “OFF as
You Go”. Matikan listrik atau lampu, dan gadget saat tidak diperlukan.
Maksimalkan penggunaan ruang dining berdasarkan kebutuhan saja. Bila normalnya
resto buka semua ruangan, maka kondisi saat ini buka satu saja area dining. Ini
bisa menghemat listrik, life time lampu lebih panjang, hemat biaya cleaning
(detergen, chemical), dan sumberdaya manusia.
Ruang pendingin juga bisa dikontrol. Order stock secukupnya dan simpan
kedalam freezer yang sesuai ukuran versus kebutuhan. Bersihkan, keringkan dan
matikan listriknya bila tidak digunakan. Maksimalkan penggunaan freezer dan
chiller. Bila bisa satu atau dua unit saja, kenapa harus nyala semua.
Penggunaan alat-alat listrik juga bisa diganti dengan manual. Toh keadaan sedang sepi dan karyawan ada
waktu cukup. Hal ini juga bertujuan meningkatkan skill para juru masak. Alat2
apa saja? Blender, Slicer, Meat Mincer bisa diganti manual dengan skill para
cook/chef. Vacum cleaner bisa diganti dengan menyapu manual. Iklim juga masih
musim hujan, menyiram tanaman secukupnya saja.
Sumberdaya Manusia (Manpower)
Aspek ini adalah salah satu yang paling krusial dan sensitif. Di satu
sisi usaha sedang sepi, namun karyawan harus tetap digaji. Opsi mem-PHK
jelaslah bukan pilihan enak. Merumahkan mereka juga kurang wise. Sementara bila tetap bekerja, perusahaan harus menggaji dan
uang gaji dari mana? Tetap masuk bekerja normal tapi gaji setengah saja juga
kurang manusiawi. Lalu bagaimana?
Sebenarnya semua opsi diatas bisa saja dipilih, dan sebagai pengusaha
tentunya tidak bisa disalahkan karena keadaan sedang force majeur. Namun perlu diingat, bahwa associate (karyawan) bukan
sekadar asset yang paling utama. Lebih dari itu. Disaat pagebluk seperti ini,
sudah semestinya perusahaan memberikan perhatian yang lebih, karena pada setiap
karyawan ada keluarga yang harus ditopang dan dinafkahi.
Opsi kerja bergilir mungkin jadi solusi. Jadi, perusahaan tidak mem-PHK
tapi memberikan kesempatan bekerja secara rotasi berdasarkan shift dan
kebutuhan. Karyawan tetap berhak bekerja namun tidak full setiap hari dalam
seminggu. Tentunya, gaji yang diterima berdasarkan kehadiran, plus tunjangan
dasar lainnya. Perusahaan juga tidak menolak bila ada karyawan yang ingin
“istirahat panjang” saat PSBB dan bisa kembali bekerja bila keadaan normal.
Dalam hal ke-HR-an ini, komunikasi menerus untuk memberikan pemahaman
dan pengertian kepada segenap karyawan menjadi hal yang KRUSIAL. Jangan
bosan-bosan melakukan motivasi, konseling dan pendekatan kepada associates.
Dengarkan mereka dan sebisa mungkin penuhi hak dan permintaan dasarnya. Saya
rasa mereka juga bisa mengerti kondisi saat ini.
Perubahan Perilaku Pelanggan dan
Upaya Survive Usaha Resto
Adaptasi, inovasi dan kreasi, tiga hal ini yang membuat usaha kuliner
bisa bertahan di jaman sulit ini. Kondisi sedang berubah, market sedang
bergeser, perilaku konsumen juga berubah. Untuk bisa bertahan, tidak ada cara
lain kecuali berADAPTASI.
Pengusaha tidak bisa diam saja dan mengandalkan mukjizat dari langit
atau menunggu WHO meluncurkan vaksin corona setahun lagi. Produk harus
dikreasi, layanan harus dimodifikasi, harga harus bersaing, dan semangat harus
tetap membara (meminjam stilah Barapi Meat & Grill).
Yang jelas, perilaku pelanggan mengalami perubahan. Saat ini mereka
lebih berhati-hati dalam konsumsi makanan/jajanan. Pelanggan sedang sensitif,
bahkan paranoid. Mereka tidak mudah percaya dengan kualitas dan kebersihan menu/makanan.
Kini mereka tidak saja menuntut kelezatan, tapi juga keamanan pangan, steril &
hygiene. Bukan sekadar bersih. Baik dari menu itu sendiri, para juru masak, aspek
packaging hingga pengantarnya (driver).
Semua harus hyigine. Ini berarti,
usaha kuliner harus kerja extra keras untuk bisa mengimbangi tuntutan ini, dan mungkin
kelak, semua aspek ini tidak hanya jadi sekadar trend, justru bakal menjadi
“kebutuhan wajib” setiap usaha/jasa kuliner.
Hal lain yang krusial adalah HARGA.
Dulu orang bela-belain makan di resto mewah demi menjaga prestige. Dewasa ini,
jumlah golongan ini makin sedikit. Apalagi jaman krisis seperti ini. Prinsip
mereka, hidangan kelas gourmet kalau
bisa dinikmati dengan harga kaki lima. “Apalagi dimakan #dirumahaja, kok.”
Hari gini usaha resto mahal tidak akan laku. Orang makin smart. Terlebih krisis ekonomi membuat
daya beli lumayan turun. Buktinya semua orang menahan diri belanja dan banyak
resto jor-joran pasang diskon. Jadi, produk makanan Anda tidak boleh mahal,
tapi juga jangan murahan. Tetaplah di kualitas dengan harga pantas. Bahasa
kerennya “best value for money”.
Selain faktor hygiene dan
harga, perilaku “cara membeli” dan “cara menikmati” produk juga berubah. Menikmati
hidangan lezat nan mahal setaraf steak,kini tidak harus di dalam area dining
suatu resto. Sup ayam jamur yang creamy
atau pasta italia yang otentik, gurih, lezat dan instagramable harus bisa dinikmati #dirumahsaja. Harus tetap fresh,
higienis dan lezat. Pelanggan tidak perlu keluar rumah/kantor, cukup jari dan
koneksi internet yang menjalankan dan mitra #driverojol yang hantarkan.
Harus cepat, dan tetap nikmat. Tidak mahal.! (bukan murahan, loh).
Maka pengusaha boga kini makin dituntut GOING DIGITAL dan bermitra dengan semua pihak yang bisa mendukung tema
besar bertajuk “safe & hygine food
delivery” hingga ke meja makan pelanggan.
Kreasi Menu/Produk/Layanan Baru
Seiring dengan perilaku pelanggan yang berubah, beberapa brand restoran
kini juga menawarkan menu baru yang lebih “nyaman & aman” dinikmati
#diRumahAja (atau #diRumahKontrakanAja). Menu “Ready to Cook” salah satunya.
Semua menunya masih mentah, harus dimasak dulu mengikuti instruksi yang tertera
di label. Packagingnya sangat higienis. Kebanyakan menu frozen, namun ada juga
yang chill.
Beberapa rumah makan juga ada yang menawarkan menu setengah matang dan
bisa dimatangkan sempurna hanya dengan menggunakan microwave atau dengan cara numpang
kukus sembari menanak nasi. Ada juga yang menyediakan menu matang tapi dibuat
frozen dan pelanggan tinggal menghangatkan saja di rumah. Bisa simpan dulu dan
dikonsumsi kapan saja sesuai kebutuhan.
Sembari menulis artikel ini, saya juga mencari-cari ide kreatif lainnya
untuk bisa memberikan solusi atas problem atau kendala pelanggan dalam memenuhi
kebutuhan kuliner mereka di masa pandemic ini. Bila Anda punya ide, silahkan
bantu saya dengan menuliskan di kolom komentar. Thank you for that.
Kejarlah Pelanggan dan Dapatkan
Perhatian Mereka
Lalu bagaimana menjangkau para pelanggan tsesebut? Nah, tim marketing
communication lah yang bekerja. Anggarkan budget, risetlah segmennya, dan
bidiklah target yang disasar. Cari tahu dimana saja biasanya mereka “nongkrong”
atau “ngerumpi”. Karena musim pandemi, kesimpulan awal mereka seringnya “nongki2”
di grup WA dan di depan Android/Os/gadget. Gak jauh2 dari itu. Spesifiknya,
yang mereka “pantengi” pastilah tak jauh dari sosmed dan kanal berita online.
Itu saja,fokus disitu, tinggal digempur secara UNIK dan KREATIF mengenai info
“keunggulan” produk/layanan kita plus “differensiasi-nya”. Sampaikan dengan bahasa yang sesuai segmen
yang disasar (targetted market). Lakukan
terus menerus, pasti akhirnya kena.
Di penghujung diskusi ini, saya berpesan untuk memastikan produk/layanan
yang sampai di rumah itu bisa membuat pelanggan WOW. Melebihi ekspektasi
mereka. Itu tidak mudah. Ada proses panjang yang harus dilalui, mulai dari lini
suplai dan bahan baku yang selalu fresh dan konsisten, skilled labour,
operasional yang disiplin pada SOP, mutu produk yang selalu prima, delivery
yang cepat dan harga yang sesuai.
Wassalam. Semoga bermanfaat. Ayo bangkit lawan Corona dan tetaplah
berwirausaha!
*) Penulis adalah mantan aktivis
Persma lulusan Program Studi D4 Pariwisata Udayana University Bali, ex
Hotelier, pernah jadi TKI, kini menekuni usaha kuliner/resto, founder Barapi
Meat & Grill, BarBurGer, Warsito, dan investor-operator brand dBestO
Chicken & Burger.