Sunday, April 26, 2020

Usaha Kuliner dan Upaya Bertahan Melawan Covid-19


Part 1, Basic Strategy: "Bertahan"

oleh: Mohammad Iqbal, SST.Par *

Wabah Covid-19 ini begitu dahsyat. Dampaknya yang masif bukan hanya meruntuhkan aspek kesehatan, melainkan juga mengguncang hampir semua lini kehidupan. Perekonomian dan dunia usaha apapun sektornya, dimanapun berada, pastilah TERDAMPAK.

Apakah selalu DAMPAK negatif? Eit, tunggu dulu, ada juga sektor yang terDAMPAK positif, bahkan tumbuh berkembang, karena sejatinya, di setiap masa krisis, selalu ada saja yang THE FALL dan THE RISE.

The RISE..! Industri farmasi dan alat kesehatan saya kira yang pertama-tama makin tumbuh dan berkembang. SEelain itu, garmen dengan kebutuhan khusus (mask, APD, dll), manufaktur dan retail bidang kebersihan/chemical (detergen, sabun, dll), internet, delivery service, online service, home education, home intertainment, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia untuk bisa diantar dan dinikmati  #dirumahaja. Kini mereka panen.

Bagaimana dengan the FALL? Mungkin usaha yang terpapar negatif jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Misalnya yang pertama-tama kali merasakan adalah pariwisata (obyek wisata, taman rekreasi, travel, perhotelan, cafe, dine-in based restaurant),  MICE (meeting, insentive, conference, exhibition), kemudian usaha transportasi, semua perdagangan yang non kebutuhan sehari-hari, sektor UMKM, dan selanjutnya semua sektor yang bersifat tersier seperti live entertainment (concert, orkes dangdutan), event organizer, properti, konstruksi, tekstil dan garmen non-medis, otomotif, dan masih banyak lagi.

Dampak Wabah Covid terhadap Bisnis Rumah Makan (Food & Beverage)
Nah, usaha di bidang kuliner dan restoran juga ikut terdampak. Meskipun dalam Pergub DKI Jakarta No. 33 Th. 2020 pasal 10 ayat 3 disebutkan bahwa usaha penyedia makanan masih diperbolehkan melakukan aktifitas dengan pembatasan, namun tetap saja penjualan mengalami penurunan yang signifikan.

Tercatat sejak tanggal 16 Maret 2020, sales revenue di semua cabang BarBurGer mengalami grafik penurunan yang bertahap, perlahan namun pasti, hari per hari omzet sedikit demi sedikit terkikis dan drastisnya terjadi sejak diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Hal yang sama juga berlaku pada brand dBestO Chicken & Burger. Parahnya lagi, bagi usaha restoran atau rumah makan yang karakternya adalah mengusung kenyamanan dine-in seperti steakhouse Barapi Meat & Grill, penurunanannya lebih ekstrim, karena pelanggan DILARANG makan di tempat (dine-in), di masa pandemi ini.

Pada dasarnya, dari segi layanan, setidaknya ada 2 jenis rumah makan yang terdampak dengan kadar berbeda. Pertama; restoran FASTFOOD dan yang terbiasa dengan layanan cepat khas takeaway/delivery service. Kedua; restoran DINE-IN yang karakter hidangan dan konsep layanannya adalah full-service dining.

Dua jenis restoran ini mengalami dampak yang berbeda. Fastfood cenderung masih bisa bertahan karena selama ini sudah terbiasa melayani take-away, drive-thru, delivery service dan online delivery berbasis aplikasi, dan ditunjang dengan harga yang cenderung murah karena menu yang ditawarkan bersifat sangat basic n simple, misalnya ayam goreng plus nasi. Murah, tetap enak dibawa pulang atau dipesan antar dan mudah dipanaskan kembali untuk disajikan nanti.

Umumnya, resto kategori ini masih bisa survive secara alami. Tidak “ngapa-ngapain” aja memang gofood dan grabfoodnya sudah ramai. Sebelum ada covid, pelanggan sudah biasa order untuk takeaway. Nah saat pendemi ini, beberapa brand omzet dari sisi order takeaway-nya malah meningkat. Contoh; McDonald, BarBurGer, KFC, Geprek Bensu, dBestO, Hokben, Haus dan lain sebagainya. Brand-brand yang saya sebut ini tentulah mengalami penurunan revenue, tetapi masih mending lah.

Berbeda dengan kategori kedua, yaitu resto yang image, konsep dan layanannya mengutamakan kenyamanan pengalaman santap hidangan di tempat (dine-in service), pastinya mengalami dampak yang lebih berat. Ditambah lagi, bila menu yang ditawarkan selama ini adalah menu yang oleh konsumen dikenal sebagai  makanan yang “lebih lezat” bila dihidangkan langsung ditempat. Diperperah lagi bila harga menu di kelas menengah keatas. Makin tragis lagi, bila resto ini berada di area obyek wisata, taman rekreasi atau di dalam mall. Paket komplit lah jadinya. Contoh, HolyCow, SushiTei, Barapi Meat & Grill, SeribuRasa, Nanny’s Pavillon, Chilis, TGIF, Fish&Co, Remboelan, dan masih banyak lagi. Oh ya, tentunya semua resto grade A dan B (mewah n mahal) yang berlokasi di Mall juga keok, karena mall-nya tutup operasional.

Nah, sebenarnya masih ada lagi yang terparah, yaitu jenis Cafe & Resto yang memiliki nightlife dan entertainment, yang murni mengunggulkan entertainment ambience, nitelife dan lifestyle. Umumnya ada di dalam hotel bintang lima atau Cafe-Bar-Pub yang berlokasi independent namun harus terpaksa tutup karena aturan jam malam.

Bertahanlah!
Lalu apa saja upaya dan bagaimana agar usaha kuliner bisa bertahan di masa resesi ini? Sebelum menjawabnya, terlebih dahulu saya perjelas bahwa di saat seperti ini faktor penjualan (sales) yang sangat terkait dengan kondisi psikologi, perilaku, mood dan opini pelanggan itu sangatlah bersifat EXTERNAL dan relatif SULIT DIKENDALIKAN.

Oleh karena itu, kendalikanlah faktor2 yang memang masih bisa kita kontrol secara INTERNAL. Apa saja itu? Pastinya, bukanlah aspek penjualan. Berikut adalah opini saya pribadi dari sudut pandang pelaku usaha penyedia makanan, antara lain:

1.       Expenses
2.       COGS
3.       Utility Cost
4.       Manpower

Pengeluaran (Expenses)
Inilah faktor pertama kali yang paling bisa kita kendalikan, yaitu aspek PENGELUARAN. Intinya, belanjalah yang seperlunya. Hemat-hematlah dalam pengeluaran. Belilah keperluan yang basic, mendasar dan yang penting-penting saja. Jumlahnyapun kalau bisa seperempat atau setengah dari yang biasa dibeli saat kondisi normal. Kalau bisa “ngutang” ya hutang dulu, bayarnya nanti-nanti saja. Belanja untuk keperluan investasi? Untuk saat ini, buang jauh-jauh pikiran kotor itu! Gak penting!

Di usaha resto biasanya keperluan sehari–hari seperti beli plastik, uang parkir, detergen, chemical,dan hal-hal pelangkap lainnya.  Ingat, seperlunya saja.

Bahan Baku (dan semua yang masuk kategori variable cost)
Dalam usaha resto, dikenal dengan sitilah COGS (Cost of Good Sold), yaitu semua bahan-bahan atau item-item yang menjadi unsur tersusunnya suatu produk (dalam hal ini adalah menu makanan), yang bisa diperhitungkan (plus atau minus) bila suatu produk itu terjual.  Bila tidak terjual, tapi berkurang, berarti menjadi waste atau lost. Gampangnya disebut bahan baku. Ini termasuk apa saja yang melekat pada produk, sekecil apapun itu, termasuk packaging, saus sachet, sendok/garpu plastik, dan lain-lain, banyak printilannya.

Nah, prinsipnya hampir sama seperti expenses. Harus efisien, tidak ada lost, tidak ada rusak. Berkurangnya harus karena terjual, bukan terhutang, bukan hilang atau rusak dan basi. Karena bila tidak, makan akan menjadi beban yang tinggi. Oleh karena itu karyawan haruslah order atau beli bahan baku yang secukupnya saja, jangan menumpuk stock, harus berdasarkan FIFO (first in first out) dan harus berdasarkan prediksi penjualan yang sedang sepi ini.

Bahan baku harus disimpan dengan higienis dan aman, serta terdata atau terinventory dengan tertib dan rapi, setiap hari. Bila tidak tercatat rapi, berhentilah usaha resto, karena itulah paru-parunya bisnis boga.

COGS ini gambarannya seperti neraca timbangan, semakin tinggi penjualan,  maka prosentase COGS semakin rendah. Bila tidak, berarti ada yang tidak beres dalam perumusan harga, atau ada yang waste/lost. Kesimpulannya prosentase COGS terhadap SALES harus ditekan sebisa mungkin.

Biaya Energi (Utility Cost)
Biasanya ini meliputi listrik, air, dan gas. Terapkan prinsip “OFF as You Go”. Matikan listrik atau lampu, dan gadget saat tidak diperlukan. Maksimalkan penggunaan ruang dining berdasarkan kebutuhan saja. Bila normalnya resto buka semua ruangan, maka kondisi saat ini buka satu saja area dining. Ini bisa menghemat listrik, life time lampu lebih panjang, hemat biaya cleaning (detergen, chemical), dan sumberdaya manusia. 

Ruang pendingin juga bisa dikontrol. Order stock secukupnya dan simpan kedalam freezer yang sesuai ukuran versus kebutuhan. Bersihkan, keringkan dan matikan listriknya bila tidak digunakan. Maksimalkan penggunaan freezer dan chiller. Bila bisa satu atau dua unit saja, kenapa harus nyala semua.

Penggunaan alat-alat listrik juga bisa diganti dengan manual. Toh keadaan sedang sepi dan karyawan ada waktu cukup. Hal ini juga bertujuan meningkatkan skill para juru masak. Alat2 apa saja? Blender, Slicer, Meat Mincer bisa diganti manual dengan skill para cook/chef. Vacum cleaner bisa diganti dengan menyapu manual. Iklim juga masih musim hujan, menyiram tanaman secukupnya saja.

Sumberdaya Manusia (Manpower)
Aspek ini adalah salah satu yang paling krusial dan sensitif. Di satu sisi usaha sedang sepi, namun karyawan harus tetap digaji. Opsi mem-PHK jelaslah bukan pilihan enak. Merumahkan mereka juga kurang wise. Sementara bila tetap bekerja, perusahaan harus menggaji dan uang gaji dari mana? Tetap masuk bekerja normal tapi gaji setengah saja juga kurang manusiawi. Lalu bagaimana?

Sebenarnya semua opsi diatas bisa saja dipilih, dan sebagai pengusaha tentunya tidak bisa disalahkan karena keadaan sedang force majeur. Namun perlu diingat, bahwa associate (karyawan) bukan sekadar asset yang paling utama. Lebih dari itu. Disaat pagebluk seperti ini, sudah semestinya perusahaan memberikan perhatian yang lebih, karena pada setiap karyawan ada keluarga yang harus ditopang dan dinafkahi.

Opsi kerja bergilir mungkin jadi solusi. Jadi, perusahaan tidak mem-PHK tapi memberikan kesempatan bekerja secara rotasi berdasarkan shift dan kebutuhan. Karyawan tetap berhak bekerja namun tidak full setiap hari dalam seminggu. Tentunya, gaji yang diterima berdasarkan kehadiran, plus tunjangan dasar lainnya. Perusahaan juga tidak menolak bila ada karyawan yang ingin “istirahat panjang” saat PSBB dan bisa kembali bekerja bila keadaan normal.

Dalam hal ke-HR-an ini, komunikasi menerus untuk memberikan pemahaman dan pengertian kepada segenap karyawan menjadi hal yang KRUSIAL. Jangan bosan-bosan melakukan motivasi, konseling dan pendekatan kepada associates. Dengarkan mereka dan sebisa mungkin penuhi hak dan permintaan dasarnya. Saya rasa mereka juga bisa mengerti kondisi saat ini.


Perubahan Perilaku Pelanggan dan Upaya Survive Usaha Resto
Adaptasi, inovasi dan kreasi, tiga hal ini yang membuat usaha kuliner bisa bertahan di jaman sulit ini. Kondisi sedang berubah, market sedang bergeser, perilaku konsumen juga berubah. Untuk bisa bertahan, tidak ada cara lain kecuali berADAPTASI.

Pengusaha tidak bisa diam saja dan mengandalkan mukjizat dari langit atau menunggu WHO meluncurkan vaksin corona setahun lagi. Produk harus dikreasi, layanan harus dimodifikasi, harga harus bersaing, dan semangat harus tetap membara (meminjam stilah Barapi Meat & Grill).

Yang jelas, perilaku pelanggan mengalami perubahan. Saat ini mereka lebih berhati-hati dalam konsumsi makanan/jajanan. Pelanggan sedang sensitif, bahkan paranoid. Mereka tidak mudah percaya dengan kualitas dan kebersihan menu/makanan. Kini mereka tidak saja menuntut kelezatan, tapi juga keamanan pangan, steril & hygiene. Bukan sekadar bersih. Baik dari menu itu sendiri, para juru masak, aspek packaging hingga pengantarnya (driver). Semua harus hyigine. Ini berarti, usaha kuliner harus kerja extra keras untuk bisa mengimbangi tuntutan ini, dan mungkin kelak, semua aspek ini tidak hanya jadi sekadar trend, justru bakal menjadi “kebutuhan wajib” setiap usaha/jasa kuliner.

Hal lain yang krusial adalah HARGA. Dulu orang bela-belain makan di resto mewah demi menjaga prestige. Dewasa ini, jumlah golongan ini makin sedikit. Apalagi jaman krisis seperti ini. Prinsip mereka, hidangan kelas gourmet kalau bisa dinikmati dengan harga kaki lima. “Apalagi dimakan #dirumahaja, kok.”

Hari gini usaha resto mahal tidak akan laku. Orang makin smart. Terlebih krisis ekonomi membuat daya beli lumayan turun. Buktinya semua orang menahan diri belanja dan banyak resto jor-joran pasang diskon. Jadi, produk makanan Anda tidak boleh mahal, tapi juga jangan murahan. Tetaplah di kualitas dengan harga pantas. Bahasa kerennya “best value for money”.

Selain faktor hygiene dan harga, perilaku “cara membeli” dan “cara menikmati” produk juga berubah. Menikmati hidangan lezat nan mahal setaraf steak,kini tidak harus di dalam area dining suatu resto. Sup ayam jamur yang creamy atau pasta italia yang otentik, gurih, lezat dan instagramable harus bisa dinikmati #dirumahsaja. Harus tetap fresh, higienis dan lezat. Pelanggan tidak perlu keluar rumah/kantor, cukup jari dan koneksi internet yang menjalankan dan mitra #driverojol  yang hantarkan. Harus cepat, dan tetap nikmat. Tidak mahal.! (bukan murahan, loh).

Maka pengusaha boga kini makin dituntut GOING DIGITAL dan bermitra dengan semua pihak yang bisa mendukung tema besar bertajuk “safe & hygine food delivery” hingga ke meja makan pelanggan.

Kreasi Menu/Produk/Layanan Baru
Seiring dengan perilaku pelanggan yang berubah, beberapa brand restoran kini juga menawarkan menu baru yang lebih “nyaman & aman” dinikmati #diRumahAja (atau #diRumahKontrakanAja). Menu “Ready to Cook” salah satunya. Semua menunya masih mentah, harus dimasak dulu mengikuti instruksi yang tertera di label. Packagingnya sangat higienis. Kebanyakan menu frozen, namun ada juga yang chill.

Beberapa rumah makan juga ada yang menawarkan menu setengah matang dan bisa dimatangkan sempurna hanya dengan menggunakan microwave atau dengan cara numpang kukus sembari menanak nasi. Ada juga yang menyediakan menu matang tapi dibuat frozen dan pelanggan tinggal menghangatkan saja di rumah. Bisa simpan dulu dan dikonsumsi kapan saja sesuai kebutuhan.

Sembari menulis artikel ini, saya juga mencari-cari ide kreatif lainnya untuk bisa memberikan solusi atas problem atau kendala pelanggan dalam memenuhi kebutuhan kuliner mereka di masa pandemic ini. Bila Anda punya ide, silahkan bantu saya dengan menuliskan di kolom komentar. Thank you for that.

Kejarlah Pelanggan dan Dapatkan Perhatian Mereka
Lalu bagaimana menjangkau para pelanggan tsesebut? Nah, tim marketing communication lah yang bekerja. Anggarkan budget, risetlah segmennya, dan bidiklah target yang disasar. Cari tahu dimana saja biasanya mereka “nongkrong” atau “ngerumpi”. Karena musim pandemi, kesimpulan awal mereka seringnya “nongki2” di grup WA dan di depan Android/Os/gadget. Gak jauh2 dari itu. Spesifiknya, yang mereka “pantengi” pastilah tak jauh dari sosmed dan kanal berita online. Itu saja,fokus disitu, tinggal digempur secara UNIK dan KREATIF mengenai info “keunggulan” produk/layanan kita plus “differensiasi-nya”.  Sampaikan dengan bahasa yang sesuai segmen yang disasar (targetted market). Lakukan terus menerus, pasti akhirnya kena.

Di penghujung diskusi ini, saya berpesan untuk memastikan produk/layanan yang sampai di rumah itu bisa membuat pelanggan WOW. Melebihi ekspektasi mereka. Itu tidak mudah. Ada proses panjang yang harus dilalui, mulai dari lini suplai dan bahan baku yang selalu fresh dan konsisten, skilled labour, operasional yang disiplin pada SOP, mutu produk yang selalu prima, delivery yang cepat dan harga yang sesuai.

Wassalam. Semoga bermanfaat. Ayo bangkit lawan Corona dan tetaplah berwirausaha!

*) Penulis adalah mantan aktivis Persma lulusan Program Studi D4 Pariwisata Udayana University Bali, ex Hotelier, pernah jadi TKI, kini menekuni usaha kuliner/resto, founder Barapi Meat & Grill, BarBurGer, Warsito, dan investor-operator brand dBestO Chicken & Burger.

1 comment:

Kursus Bahasa Inggris Privat said...

Di masa Pandemi Covid-19 sekarang ini sebenernya tidak sepenuhnya menjadi hal negatif atau selalu kerugian yang di bahas akan tetapi dibalik adanya Virus menyebar ini menyadarkan banyak instansi , pemerintah , pelaku usaha , hingga masyarakat umum. kenapa?karena sebelum adanya virus corona banyak orang menyepelekan pentingnya Hygiene dan Sanitasi. Mereka seakan akan lupa akan kebersihan diri , rumah , kamar , kantor , hinga proses pengolahan makanan.

Tentu Usaha kuliner bukan berarti mati total, karena tidak setiap saat orang bisa masak karena kesibukan mereka menjadikan Usaha kuliner tetap diminati dan dengan adanya verifikasi Hygiene dan Sanitasi di dari sebuah lembaga terpercaya membuat konsumen tidak ragu untuk memesan makanan.