www.dadangkadarusman.com
Natin baru saja
melintas di warung kopi. Sekelompok orang sedang bermain gaple. Padahal mestinya
orang dewasa seperti mereka dijam begini sibuk bekerja. Bukan nongkrong begitu.
Mereka kan punya kewajiban menafkahi keluarga. Tapi selalu ada saja
argumentasinya. “Rezeki itu sudah ada yang mengatur, Mpooook….” Kata mereka.
“Kita tidur juga Gusti Allah tetap ngasih rezeki kok…” timpal yang lainnya. Lalu
yang lainnya lagi menambahkan;”Kerja lebih keras juga nggak bakal menambah
rezeki kita kalau takdir Tuhan berkata lain…..” Natin, tersenyum mendengar
celoteh mereka. Lalu bergegas meninggalkan majlis gaple itu.
Suara mereka sudah
tidak terdengar lagi. Namun Natin masih senyum-senyum juga. Bukan senyum karena
mentertawakan mereka. Melainkan teringat ketika bertemu dengan gurunya zaman
dahulu. Natin bertanya kepada gurunya perihal urusan rezeki itu. Ada kebingungan
kronis mengiritasi hatinya. Katanya sudah ditentukan takarannya oleh Tuhan. Dan
jika takaran itu sudah ditentukan, maka penyerahannya tidak lagi bergantung
kepada orang itu. Tetap akan diberikan meski dia tidur sepanjang hari. Dan jika
takaran itu sudah ditentukan, maka usaha sekeras apapun tidak akan menambah
jatahnya.
Hari itu, sabtu.
Sebagai bukti menerima tantangan itu, Ayah langsung pergi ke toko yang menjual
alat-alat pancing. Abang kegirangan mendapati Ayah pulang membawa alat pancing.
“Besok, kita pergi memancing Bang.” kata Ayah.
“Hari ini aja
Yaaah…., please” manja Abang.
“Wah, kalau kita
pergi sekarang udah kesorean Bang.” Jawab Ayah. “Besok kita berangkat pagi-pagi,
oke….”
Keesokan harinya,
minggu yang mendung. Tapi Ayah dan Abang sudah berniat untuk pergi mancing. Mama
pun sudah menyiapkan umpan istimewa yang dibuat dari campuran bahan-bahan
pembuat kue donat. Dengan kompoisisi rahasia plus telur ekstra dan terasi.
Meskipun Mama ragu jika umpan itu bakal dimakan ikan, tapi Ayah meyakinkan Mama
jika usahanya tidak akan sia-sia. Di rumah, kue bikinan Mama selalu ludes. Ikan
bawal pun pasti tidak sanggup menahan godaan kelezatannya.
Sesampai di kolam
pemancingan, Ayah membayar tiket masuknya. Kemudian pemilik kolam menambahkan
ikan hidup kedalam kolam. Lalu. Mereka pun ikut bergabung dengan para pemancing
lain yang sudah pada duluan tiba.
Sudah setengah
hari. Masih nihil. Padahal, pemancing lain sudah berkali-kali mendapatkan
ikannya. “Kenapa kita belum dapat juga Yah?” Abang bertanya dengan harapan yang
hampa.
“Kalau mancing
itu, ya harus sabar Bang…” jawab Ayah. Sebuah jawaban yang bisa menenangkan anak
kelas 3 SD itu. Setidaknya untuk sementara waktu. Nyatanya, setiap kali
pemancing lain dapat ikan, Abang kembali menanyakan hal yang sama. Hingga sore.
Keadannya tidak berubah juga.
“Kalau kita sabar
ternyata tidak mendapatkan ikan, Yah….” Kata Abang. Entah curhat. Entah protes
karena nasihat kesabaran Ayah tidak menghasilkan apa-apa.
Natin bisa melihat
jelas wajah Ayah yang tengah berusaha mencari jawaban yang cocok untuk
pertanyaan itu. Lalu… “kita coba lagi minggu depan ya….” Dari wajahnya, Natin
tahu persis jika Ayah sendiri tengah mempertanyakan arti kesabaran itu kepada
dirinya sendiri. Jika semua pemancing sama sabarnya, kenapa hasilnya berbeda?
Keimanan Ayah, kayaknya sudah mulai goyah. Buat Abang yang masih kecil, ini
hanyalah soal memancing ikan. Tapi buat orang dewasa seperti Ayah, ini nggak
sesederhana itu. Dalam mencari nafkah, Ayah sering sekali mendengar orang
mengajak bersabar. Bagus sih bersabar itu. Tapi, kalau tidak ada hasilnya untuk
ongkos dapur, sampai kapan bisa bersabar?
Minggu berikutnya.
Ayah benar-benar memenuhi janjinya kepada Abang. Mereka pergi mancing lagi. Kali
ini di kolam ikan Mas. Umpannya, khusus Ayah beli yang paling bagus, karena
kelihatannya lidah ikan belum biasa dengan adonan kue bikinan Mama.
Sudah 2 jam. Ayah
dan Abang belum juga menarik ikan. Sementara pemancing lain sudah berkali-kali
menangkapnya. “Kalau mancing mesti sabar ya, Yah…..” kata Abang. Setengah
menggugat.
Ayah terhenyak.
Tidak bisa lagi mengatakan untuk sabar. Karena, semakin terbukti bahwa sabar itu
tidak menghasilkan apa-apa. Natin terenyum melihat Ayah manggut-manggut. Dari
wajah Ayah, Natin tahu kalau sekarang Ayah sadar bahwa sabar itu tidak tepat
ditempatkan disitu. Ayah, telah menihilkan makna ikhtiar ketika bersembunyi
dibalik kata sabar.
Tapi….,
Bukankah
melemparkan kail itu juga merupakan ikhtiar? Bukan hanya pemancing lain yang
melempar kail. Ayah juga sama. Kenapa hasil beda? Bukan hanya orang lain yang
gigih bekerja mencari rezeki. Kita juga sama. Tapi kenapa diantara orang-orang
yang sama-sama ikhtiar itu hasilnya tetap beda. Ada yang dapat banyak. Ada yang
hanya sedikit. Bahkan ada yang tidak dapat apa-apa sama sekali. Sabar, sudah.
Ikhtiar, juga sudah. Kenapa hasilnya tetap beda juga?
“Hati-hati sama dia Pak,” tiba-tiba seorang pemancing bicara. “Semua ikan bisa diembat habis…” katanya. Dia menunjuk kepada pemancing lain disamping Ayah. Pemancing yang sudah berkali-kali menaikkan ikan. “Orang kayak dia itu mestinya mancing dilaut, bukan dikolam cetek kayak gini….” Ledek orang itu lagi.
Ayah menanggapinya
dengan tertawa. Tapi Natin tahu, jika tawa Ayah itu hanya kamuflase belaka. Ayah
sekarang sadar bahwa selain sabar dan ikhtiar, ada hal lainnya. Orang yang
dibercandain oleh pemancing lain itu terkenal jago memancing. Dia tahu kapan
saat yang tepat untuk menarik pancingnya. Karena, jika terlalu dini, kail itu
tidak akan terkait di mulut ikan. Dan kalau terlambat, ikan keburu kabur
menggondol umpannya. Sekarang Ayah sadar. Bahwa ikhtiar, tanpa keterampilan
hanya akan menghasilkan kesia-siaan.
Tak lama kemudian,
terjadi kehebohan seperti sebelum-sebelumnya. Pemancing dipojokan kembali
menarik ikan. Dalam waktu singkat, mungkin dia sudah menarik lebih dari 5 ikan.
Abang hanya menonton drama tarik menarik kail pancing itu sambil menikmati
pemandangan indah berupa joran yang melengkung menahan perlawanan ikan. Abang
nggak bertanya lagi kepada Ayah. Mungkin dia tahu jika Ayah tidak akan punya
lagi jawaban lainnya.
Natin mendengar
Ayah bertanya kepada pemancing sebelahnya. “Kenapa disebelah sana sering sekali
dapat ikan, Pak?” Lalu orang yang ditanya itu menjelaskan bahwa gerombolan ikan
itu sedang berada disebelah sana. Oh. Jika Tuhan mengarahkan semua ikan ke
sebelah sana. Tidak ada artinya sabar bagi pemancing sebelah sini. Bahkan,
meskipun pemancing sebelah sini ini paling jago mancing sedunia. Tuhan sudah
menakar jatah rezeki semua orang. Pencerahan itulah yang kemudian Ayah sampaikan
kembali kepada Abang.
Natin geli melihat
Ayah menjelaskan hal itu kepada anaknya. Karena Natin tahu, bahkan ketika
menjelaskan kalimat itupun sebenarnya Ayah sendiri bingung. Antara iman dan
keraguan. Semua bercampur aduk. Dalam hati Ayah memohon;”Ya Allah, berikan
anakku pengalaman menarik ikan. Sekaliiiii saja Tuhan….” Tapi percuma saja
berdoa jika keputusan tentang rezeki itu sudah ditentukan. Maaf, ikan ini untuk
orang lain. Bukan buat kamu. Maka sabar, ikhtiar, keahlian dan doa sudah tidak
ada pengaruhnya lagi.
Melihat Ayah,
Natin seperti melihat dirinya sendiri; dulu ketika berhadapan dengan gurunya.
Kegundahan Ayah. Keraguan Ayah. Keimanan Ayah yang sering bertengger dibibir
jurang kekufuran, khususnya ketika uang Ayah sudah habis sama sekali. Padahal
kebutuhan hidup sedang banyak-banyaknya. Dan Ayah tidak tahu lagi mesti berusaha
seperti apa lagi. Kepulan asap didapur ternyata tidak bisa dinyalakan hanya
dengan doa. Kesabaran. Bahkan keimanan kepada kuasa Tuhan dalam mengatur kepada
siapa Dia memberi kelapangan rezeki, dan kepada siapa Dia menyempitkannya. Iman,
berat dijalani dalam perut kosong seperti itu.
“Bekerjalah
untukku selama sebulan penuh….” Demikian respon gurunya ketika Natin bertanya
perihal itu. “Sebagai upahnya, kamu akan diberi makan secukupnya….” Tambah
beliau. Sebuah jawaban yang tidak nyambung dengan pertanyaan. Atau, mungkin
beliau tidak tahu mesti menjawab apa. Jadi, mending mengalihkan topik
pembicaraan itu.
Natin pun menurut
saja. Bagaimana pun juga, sudah menjadi kewajiban murid untuk mematuhi gurunya.
Dihari pertama Natin bekerja di sawah gurunya. Tengah hari, ada kiriman makan
siang seperti yang dijanjikan gurunya. Nikmat rasanya menyantap makanan lezat
ditengah sawah selepas bekerja seharian itu. Porsinya pas benar dengan ukuran
perutnya. Alhamdulillah. Kerja kerasnya terbalaskan dengan sempurna.
Di hari kedua,
Natin bekerja lebih giat. Sambil berharap siapa tahu upah makan siangnya semakin
banyak. Namun ketika jatah makan siang itu datang. Natin tidak melihat adanya
perubahan. Porsinya pas benar dengan ukuran perutnya. Subhanallah. Takaran Tuhan
atas rezeki seseorang itu sudah sedemikian sempurna. Kerja lebih keras pun tidak
bisa mengubah takarannya.
Di hari ketiga.
Natin kecapean. Lelah dicampur elusan angin sepoi membuatnya tertidur seharian.
Dia terjaga ketika pengantar makanan membangunkannya. “Celaka,” begitu pikir
Natin. “Bisa-bisa hari ini aku tidak mendapatkan jatah makan…” batinnya terus
menerawang. Tapi, kekhawatirannya tidak terbukti. Jatah makan itu tetap saja
diberikan kepadanya. Allahu Akbar. Jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada
seorang pun yang sanggup menolak atau menghalanginya.
Demikianlah hari
demi hari dijalaninya. Selalu dia berada dalam siklus 3 harian itu. Hari pertama
bekerja biasa. Hari kedua bekerja lebih keras. Dan hari ketiganya ketiduran.
Terus begitu hingga genap tiga puluh hari dalam bulan itu.
Diakhir siklus 30
hari itu, sang guru memanggil Natin. “Sudah menemukan jawabannya, mengapa
takaran Tuhan atas rezeki seseorang tidak berubah?”
Natin menggeleng.
Sambil terpaksa mengatakan ‘belum guru…’ hanya untuk menjaga kesantunan saja.
Sementara didalam hatinya berbisik ‘mestinya kan guru yang tahu
jawabannya….’
Gurunya tersenyum
lalu…”Ini bonus bagi kamu untuk bekerja selama 10 hari….”
Natin yang sama
sekali tidak menduga akan mendapatkan bonus itu terperanjat. Dia senang alang
kepalang. Namun, dia merasa jika ada kesalahan perhitungan gurunya. “M-Maaf
guru,” katanya. “Bukankah… guru menugaskan saya bekerja selama 30 hari?”
lanjutnya. “Mengapa guru menyebutkan hanya 10 hari?” Sekalipun begitu, tangan
Natin terulur untuk menerima bonus dari gurunya.
Sang guru
memandangnya dengan bijak. “Aku tahu itu,” katanya. “Kamu ditugaskan untuk
bekerja selama 30 hari. Tapi…” beliau melanjutkan. “Hanya sepuluh hari kamu
bekerja lebih banyak dari yang semestinya.”
“Bagaimana dengan
pekerjaan baik saya selama 10 hari lainnya?” Tanya Natin. Siapa tahu gurunya mau
berbaik hati menambah sedikit bonus lagi.
“Untuk sepuluh hari itu, kamu sudah
bekerja dengan semestinya. Dan imbalannya pun sudah kamu dapatkan berupa jatah
makan sesuai perjanjian yang sudah kita sepakati, bukan?” Demikian gurunya
menjelaskan.
Natin. Hanya bisa
mengangguk-angguk saja. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya. Karena dia
pun sadar sudah mendapatkan upah sesuai perjanjian.
“Oh, ya…” kata
gurunya. “Kamu tidur di 10 hari lainnya, kan? Lanjut beliau.
“M-mhhh…” Natin
yang tidak menyangka akan ditanya begitu jadi gelagapan. Dia tidak menyangka
jika gurunya tahu soal itu. Dikiranya hanya Tuhan yang Maha Tahu. Ternyata Tuhan
pun memberitahu gurunya soal itu. Tapi, tak apalah. Karena selama tidur itupun
dia tetap mendapatkan upah berupa jatah makan siangnya.
“Ketika kamu tidur
itu,” Sang guru melanjutkan. “Kamu sudah mengurangi perjanjianmu. Kamu bekerja
dibawah standar. Padahal kamu mendapatkan upah seperti biasanya.” Katanya.
“Jangan begitu lagi ya…”
Natin lega karena
guru tidak memarahinya. “Baik guru. Saya mengerti.” Katanya. Dia senang karena
ditangannya sekarang sudah teronggok sejumlah hadiah sebagai bonus dari kerja
bagusnya selama 10 hari. ‘Lumayan’, begitulah pikirnya.
Sang guru beranjak
pergi. Namun, langkah beliau terhenti. Lalu, “Ah. Ya. “ katanya. Beliau
membalikkan badannya. Mendekati Natin. Kemudian mengambil kembali semua hadiah
yang tadi sudah diberikannya. Lalu pergi meninggalkan Natin yang melongo
sendirian.
“G-guru….” Kata
Natin. “Mengapa guru mengambil kembali hadiah itu?”
“Untuk membayar
hutang-hutangmu selama 10 hari tidur disaat mesti bekerja itu”. Begitulah jawab
gurunya sambil berlalu tanpa menoleh lagi.
Sudah lama sekali
sejak pertemuan dengan gurunya itu. Sekarang. Natin menyaksikan Ayah yang sedang
berada dipersimpangan jalan. Antara keyakinannya bahwa rezeki setiap orang sudah
ditentukan Tuhan. Nggak bakal tertukar. Dan keraguan didalam hatinya. Yang
mempertanyakan apakah Tuhan sungguh-sungguh adil dengan membiarkan semua
usahanya sia-sia? Keimanan Ayah tengah diuji. Dan ketakwaannya sudah berada
diujung tanduk, sekarang.
Natin tidak ingin
menasihati Ayah didepan anaknya yang masih kecil. Apalagi sambil ditonton oleh
para pemancing lainnya yang rata-rata sudah berhasil menangkap ikan. Natin hanya
menitipkan kisah pertemuan dengan gurunya itu kepada angin. Sehingga
lamat-lamat, Ayah bisa mendengar nasihatnya. Lembut terasa buaian angin itu
hingga Ayah dimanjakan diantara tidur dan terjaganya. Saat frekuensi otak Ayah
memasuki rentang gelombang alfa itu. Ayah menemukan bahwa Tuhan tetap akan
memberi rezeki kepada mahluknya. Sekalipun dia tidak mau bekerja. Meskipun
kerjaan hanya tidur saja.
Tetapi kerja keras
orang itu, akan membuka pintu rezeki lain. Yang khusus Tuhan berikan kepada
mereka yang mau berikthiar lebih gigih. Lebih ulet. Dan lebih terampil dalam
menjalani hari-harinya. Seperti tengah mengaji. Angin sepoi itu melantukan
firman Tuhan dalam surah 37 (As-Shoffat) ayat:39: “Dan kamu tidak diberi
balasan, melainkan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.”
Masih adakah keraguan dihatimu atas firman mulia itu?
Sepertinya Ayah mendengar pertanyaan itu. Natin beranjak pergi. Meninggalkan
Ayah yang masih mencari-cari jawabannya dari dalam dirinya sendiri.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
DEKA – Dadang Kadarusman – 11 January 2013
www.dadangkadarusman.com
Leadership and Personnel Development Trainer
Call him: 0812 19899 737 (PIN BB: 2A495F1D)
Catatan Kaki:
Orang yang
berkontribusi lebih banyak, pantas mendapatkan imbalan yang juga lebih banyak.
Jika tidak didapatkannya balasan lebih banyak didunia ini, maka diakhirat kelak;
jatah kebaikannya tetap terjaga dengan sempurna. Sebagai penghormatan dari
Tuhannya.Ingin mendapatkan kiriman “KKN (= Kesaksian Kecil Natin)” – kisah pendek tentang kejadian nyata yang Natin saksikan yang layak dijadikan teladan – secara rutin langsung dari Dadang Kadarusman? Kunjungi dan bergabung di http://finance.groups.yahoo.com/group/NatIn/
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain,
langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai
tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.
Dare to invite Dadang to speak for your company?
Call him @ 0812 19899 737 or Ms. Vivi @ 0812 1040 3327
No comments:
Post a Comment