www.dadangkadarusman.com
Aaaaaarrrggh! Rasanya kok pekerjaan tidak kelar-kelar. Selesai yang ini. Muncul yang itu. Tuntas yang itu, bermunculan lagi urusan-urusan lainnya. Seperti hujan di bulan desember saja. Nggak ada yang bisa membendungnya, meskipun sudah menggunakan payung. Jika demikian. Waktu, rasanya seperti mengerut. Seolah jumlah detiknya lebih sedikit daripada yang dimiliki oleh orang lain. Anda mengalami hal seperti itu? Bagaimana dengan kolega-kolega Anda? Enak ya, mereka. Kerja gampang gitu aja sudah dapat bayaran besar. Bikin iri di hati saja.
Dulu sekali ketika masih bekerja. Saya punya sahabat. Sibuk
sekali. Saking sibuknya, setiap kali saya bertemu dengannya, sahabat saya ini
mengatakan;”Gue pusing banget deh Dang. Kerjaan setumpuk-tumpuk begini!”
kira-kira begitulah. Memang di meja kerjanya berbagai buku, kertas, dan dokumen
bertumpuk-tumpuk. Sering kali jam 9 malam masih dikantor. Memelototi meja
kerjanya yang nyaris doyong karena kelebihan beban. Mungkin Anda hanya
melihatnya dalam gambar kartun, kalau saya sih melihatnya dalam situasi
nyata.
Dulu sekali juga. Saya punya sahabat. Sama sekali nggak
sibuk. Meskipun bekerja di perusahaan yang sama. Dan menduduki jabatan tinggi
yang kira-kira levelnya sama. Dia tidak sibuk. Buktinya, kalau kebanyakan orang
jam 8 pagi sudah berada di kantornya. Sedangkan orang ini masih berada entah
dimana. Ruang kerjanya masih gelap. Jika makan siang tiba, keluar kantor
cepat-cepat dan kembali masuk lagi lambat-lambat. Kalau saya ditanya kemana dia;
saya pun akan menjawab ‘au ah elap….’
Mari memastikan bahwa Anda memahami situasi yang saya ceritakan ini sama persis seperti yang saya maksudkan. Begini. Orang yang saya ceritakan itu bekerja di perusahaan yang sama. Jabatan yang levelnya sama. Tanggungjawab yang sama. Tugas yang sama. Semuanya sama. Tapi situasinya berbeda. Sekarang saya ingin bertanya kepada Anda; orang pertama atau kedua kah yang – menurut pendapat Anda – paling enak kerjaannya?
Sekali lagi, dalam cerita pertama saya mengisahkan orang
yang sibuknya minta ampun. Dan dalam kisah kedua menceritakan orang yang
‘nyantainya’ minta ampun. Tapi boleh dibilang gaji dan fasilitas apapun dari
kantor diterimanya sama. Bonus juga sama. Penilaian dari atasan, sama juga.
Tidak ada bedanya. Anda pilih jadi orang pertama atau kedua? Kunci jawaban
Anda.
Kebanyakan orang memilih untuk menjadi orang kedua. Ngapain
kerja susah-susah kalau hasilnya sama dengan orang lain yang kerjanya nyantai
kan? Jarang yang memilih menjadi orang pertama. Lagian, siapa juga yang mau
hidupnya dikungkung oleh pekerjaan yang tidak selesai-selesai. Jawaban Anda
seperti itu juga? Tidak usah ragu untuk berpendapat. Karena, normal aja kalau
Anda memilih menjadi orang kedua. Tidak ada orang yang boleh mempertanyakan
pilihan Anda. Lantas, apa hubungannya kesibukan mereka dengan Hong
Kong?
Begini. Saya, akan memberitahukan sebuah rahasia besar
kepada Anda. Rahasia itu berbunyi begini; tokoh yang saya sebutkan dalam kedua
cerita diatas adalah tentang orang yang sama. Hanya ada satu orang dalam kedua
cerita saya diatas. Lho, kok bisa? Oh, bisa sekali. Tapi… bukankah kedua situasi
itu sangat bertentangan? Memang. Tetapi, jika Anda bisa mengingat kembali
pelajaran IPA di SMP tentang magnet batang, maka Anda akan paham pahwa situasi
yang saling bertolak belakang itu bisa menyatu sedemikian rupa dalam perilaku
seorang pekerja professional. Sama seperti kutub utara dan kutub selatan menjadi
satu kesatuan utuh dalam sebuah magnet batang.
Sekarang Anda paham. Bahwa kita, tidak sedang menceritakan
orang lain. Kita, sedang membicarakan sebuah ironi tentang diri kita sendiri.
Yang sering merasa terlampau banyak pekerjaan. Kekurangan waktu dan sumber daya
untuk bisa menyelesaikan semua penugasan dengan baik. Namun disisi lain, kita
masih menyia-nyiakan waktu kita. Memecah belah perhatian kita. Membuang-buang
tenaga kita. Dan menghambur-hamburkan sumber daya lainnya yang kita miliki. Dan
kita, masih mengatakan diri kita ini sibuk bukan kepalang. Maka pantas jika
kepada orang seperti kita ini dikatakan; “Sibuk? Sibuk dari Hong
Kong!
Paling enak memang jika menggunjingkan orang lain, ya.
Padahal, tanpa kita sadari jika sebenarnya perilaku orang yang kita gunjingkan
itu melekat didalam diri kita sendiri. Seperti pergunjingan yang saya dalangi
dalam kedua kisah nyata diatas. Sepertinya saja saya ngomongin orang lain.
Padahal, sifat-sifat orang itu sebenarnya ada dalam diri saya sendiri. Bagaimana
dengan Anda? Apakah mempunyai situasi seperti yang saya ceritakan itu? Syukur,
jika Anda tidak demikian. Namun, jika ternyata kedua situasi itupun menjadi
ironi Anda…. Semoga mulai sekarang kita bisa menyadari ironi itu. Lalu,
memperbaikinya. Sebab, jika kita terus menerus seperti itu; maka, kita akan
terus sibuk. Tanpa hasil yang signifikan.
Apa yang terjadi pada sahabat saya yang saya ceritakan
tadi? Begini kejadiannya: akibat mengalami ironi itu – sibuk tapi nyantai –
muncullah serangan ‘keteteran’. Setelah keteteran, kemudian terkena sindrom
mengeluh berkepanjangan. Setelah kena sindro mengeluh itu, lalu
mengalami kekesalan. Sejak kesal itu muncul, mulai hitung-hitungan – digaji dua
kali lipat juga rasanya nggak bakal sepadan. Dengan sikap hitung-hitungan itu,
kemudian dihantui kemalasan. Lalu kemalasan itu membawanya kepada kemauan untuk
mengerjakan hanya sedikit saja. Karena kejanya sedikit maka pekerjaan yang
tertunda semakin bertumpuk. Karena pekerjaannya semakin bertumpuk maka… siklus
itu dimulai dari awal lagi.
Demikian terus sehingga terjadi akumulasi energy dan sikap
buruk yang terus menerus bertumpuk-tumpuk. Saya tidak akan menceritakan akhir
dari kisah ini. Karena, saya yakin. Nalar Anda akan sanggup untuk memperkirakan
berbagai kemungkinan skenario yang cocok atas akhir karir eksekutif seperti itu.
Lagi pula, tujuan kita kan bukan menceritkan orang lain. Melainkan menengok
kedalam diri kita sendiri, dan menemukan bahwa ternyata; kita masih memiliki
sifat-sifat seperti itu. Dengan begitu, kita masih punya kesempatan untuk
melakukan perbaikan bagi diri sendiri dan perusahaan yang telah memberikan
amanah dan kepercayaan ini.
Dari mana perbaikan itu mesti kita lakukan? Itu pertanyaan
yang bagus. Supaya pembahasan kita ini tidak hanya menjadi kudapan teoritis yang
mengawang-awang. Gampang. Sahabatku. Mulailah merenungkan firman Tuhan dalam
surah 103 ayat 1: “Demi waktu!” Demikian bunyinya. Singkat tapi
padat. Melalui firman itu Tuhan mengisyaratkan kepada kita cara memperbaiki
sindrom ‘Sibuk Dari Hong Kong!’ itu. Yaitu; dengan memanfaatkan waktu yang kita
miliki. Memastikan bahwa waktu berharga kita digunakan untuk melakukan hal-hal
baik dan produktif.
Mari kembali mengingat waktu kerja, karena didalamnya ada
kewajiban. Mengingat waktu istirahat karena didalamnya ada hak kita. Dan
mengingat, bahwa hidup kita; dibatasi oleh waktu. Dengan begitu, kita bisa
menyeimbangkan antara hak dan kewajiban secara adil supaya dalam hidup yang
waktunya terbatas ini; kita bisa benar-benar mengoptimalkan potensi diri. Dan
memaksimalkan hasil yang mungkin bisa kita raih. Insya Allah.
Salam hormat,
Mari
Berbagi Semangat!DEKA – Dadang Kadarusman – 10 Januari 2013
www.dadangkadarusman.com
Leadership and Personnel Development Trainer
0812 19899 737 or Ms. Vivi at 0812 1040 3327
PIN BB DeKa : 2A495F1D
Catatan Kaki:
Jangan buru-buru
mengatakan ‘pekerjaan saya bertumpuk-tumpuk‘. Boleh jadi, penumpukan itu terjadi
karena kita mengisi waktu dengan tindakan dan kegiatan-kegiatan yang keliru.
Sehingga pekerjaan penting yang mestinya kita selesaikan, malah
terabaikan.
Ingin mendapatkan
kiriman artikel “P (=Personalism)” secara rutin langsung dari Dadang
Kadarusman? Kunjungi dan bergabung di http://finance.groups.yahoo.com/group/NatIn/
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain,
langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai
tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.
Dare to invite Dadang to speak for your company?
Call him @ 0812 19899 737 or Ms. Vivi @ 0812 1040 3327
Call him @ 0812 19899 737 or Ms. Vivi @ 0812 1040 3327
No comments:
Post a Comment