Oleh Mohammad Iqbal
“Ketika
ada seseorang mengunjungi temannya ke negara lain, apakah ia seorang wisatawan
(tourist)? Jika seseorang melakukan perjalanan ke negara lain dalam rangka
tugas kerja, apakah ia seorang wisatawan? Bila serombongan keluarga pergi ke
Indonesia selama seminggu untuk beristirahat dan mencari panas sinar matahari,
apakah mereka wisatawan? Atau jika Anda sendiri berkunjung ke tetangga Anda ke
kampung sebelah, apakah Anda dikategorikan wisatawan? Kemungkinan jawaban semua
pertanyaan itu adalah ‘ya’.”
(Nielsen, 2001:11)
Jadi siapa itu Wisatawan? Pendifinisian terminologi “wisatawan” sebenarnya
telah banyak dibincangkan para peneliti sosial dan psikologi semenjak dulu
sekitar tahun 30an. Namun batasan pasti yang dianggap paling bisa diterima
secara global dan mendapat pengakuan yang melembaga oleh WTO baru terwujud pada
tahun 60an. Peneliti-peneliti seperti
Coltman (1930), Kaiser & Helber (1934), Wall (1954), Matheison (1954),
McIntosh (1972), Salah Wahab (1975), adalah insan-insan pemikir jaman pra abad
21 yang banyak berjasa menyumbangkan pemikiran tentang konsep pariwisata dan
wisatawan. Selanjutnya di era 90an muncul nama-nama seperti Inskeep (1991),
Foster (1994) Harssel (1994), yang turut memperkaya khasanah dan hiruk-pikuk
perkembangan pariwisata sebagai ilmu.
Dalam kaitannya dengan membatasi definisi wiatawan, selain para peneliti
tersebut, ternyata beberapa negara yang memiliki perhatian serius terhadap
sektor pariwisata, juga mengeluarkan batasan tersendiri. Sebut saja Italia yang
kemudian berhasil mendefinisikan wisatawan melalui konfrensi Roma-nya (1963),
Amerika Serikat dengan Konfrensi New York-nya (1954), Australia dengan ATC-nya
(Australian Tourism Commision, 1992)
dan Indonesia dengan Inpres No 9/1969. Makin marak lagi, pariwisata modern
mendapat sumbangan pemikiran dari kelompok-kelompok dan badan-badan dunia
pemerhati pariwisata. Muncullah sumbangan-sumbangan dari International Union
of Official Travel Organization (IUOTO,1963), Pacific Area Travel
Association (PATA), United Nation Organization (UNO), International Airlines & Travel Agencies Association (IATA), American Hotel Motel Association
(AHMA), dan World Travel Organization (WTO, 1960).
Di Indonesia, peneliti pariwisata sekelas Oka A Yoeti juga turut memberi
sumbangan batasan tentang siapa itu wisatawan. Menurut Yoeti, untuk bisa masuk
dalam kategori wisatawan, maka setidaknya seseorang haruslah memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
- Melakukan
perjalanan itu lebih dari 24 jam.
- Perjalanan itu dilakukan hanya untuk
sementara waktu.
- Orang yang melakukannya tidak mencari
nafkah di tempat atau negara yang
dikunjunginya.
Yoeti menegaskan, bahwa satu syarat di atas tidak
dipenuhi, maka dua syarat yang lain menjadi gugur. Oleh karena itu, suatu
batasan yang memenuhi syarat haruslah mencakup ketiga syarat di atas tanpa
satupun yang ditinggalkan.
Selanjutnya mari kita kaji ciri-ciri atau syarat-syarat
yang dikemukakan Yoeti diatas. Pertama, mengenai durasi aktifitas
perjalanan. Yoeti menyatakan bahwa seorang perjalanan seorang wisatawan
setidaknya dilakukan lebih dari 24 jam. Dengan pernyataan ini, dari segi waktu
perjalanan, Yoeti ingin membedakan siapa itu wisatawan (tourist) dan
siapa itu pelancong (excursionist) sebagaimana yang dikemukakan oleh Organization
of Economic Coorporation and Development (OECD, 1970). Dalam hal ini organissasi tersebut
menyatakan;
“... a
person become a tourist if he visits a place at least 24 hours; if for a
shorter period, i.g. under 24 hours, he is counted as an excursionist”.
(OECD, 1970 dam Yoeti, 1993)
Lalu sampai kapan atau berapa lama batas maksimum
perjalanan itu dilaksanakan? Nampaknya Yoeti tidak begitu tertarik
memperhatikan hal ini, sehingga ia tidak mencantumkan batas maksimum perjalanan
dalam syarat yang ia kemukakan. Untuk itu, ada baiknya kita menengok batasan
wisatawan yang dikeluarkan Konfrensi New York di tahun 1954;
“Istilah
wisatawan harus diartikan sebagai seseorang, tanpa membedakan ras, kelamin,
bahasa dan agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan perjanjian yang lain dari pada negara dimana
orang itu biasanya tinggal dan berada disitu
tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan di dalam jangka waktu 12
bulan berturut-turut, untuk tujuan yang legal, seperti misalnya perjalanan
wisata, rekreasi, olahraga, kesehatan, alasan keluarga, studi, ibadah,
keagamaan atau urusan usaha (bussines)”.
Dari definisi diatas, jelas secara eksplisit menekankan perihal masa atau
lamanya aktifitas perjalanan itu dilakukan, yaitu setidaknya 24 jam dan tidak
melebihi dari 6 bulan. Argumentasi seperti ini sangat dapat diterima mengingat
seorang yang berdomisili di negara lain melebihi dari 6 bulan berturut-turut,
tentulah bukan dalam rangka berwisata, akan tetapi dapat dipastikan dalam
rangka kegiatan non-leisure lainnya
seperti bisnis, berdagang, kerja, kuliah, atau bahkan menetap untuk menjalani proses
menjadi warga negara tersebut.
Kedua, perjalanan seorang wisatawan bersifat sementara waktu. Ia tidak dapat
menetap lebih dari 6 bulan dari suatu negara lain dan ada niat kembali ke
negara asalnya. Dari konsep ini dapat
dipahami bahwa maksud dari sementara waktu ialah adanya proses perjalanan dari
tempat asal (tourist generating country) menuju tempat tujuan (tourist
receiving country) dan sebaliknya ada proses “mudik” atau kembali dari
destinasi wisata menuju tempat asalnya. Secara singkat dapat dikatakan ada
proses pergi ke destinasi dan sekaligus akan dilakukan proses pulang dari
destinasi menuju rumah atau tempat asalnya.
Selain itu, sifat “sementara waktu”
jika dikaitkan dengan istilah inggris tour dan istilah sanksekerta pari
(perpindahan dari sutu tempat ke tempat lain) dapat diartikan sebagai aktifitas
perputaran, atau perpindahan atau perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain.
Dengan artian semacam ini menunjukkan adanya sifat kesementaraan waktu,
mengingat perjalanan tersebut berputar atau berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain.
Ketiga, seorang wisatawan tidak mencari nafkah di tempat atau negara yang
dikunjunginya. Melalui pernyataan ini, Yoeti nampaknya ingin menyampaikan
tentang motivasi, alasan atau tujuan melakukan perjalanan wisata. Seperti yang
dipaparkan Glenn F. Ross (1994), bahwa ada banyak ragam teori motivasi
melakukan perjalanan. Dari teori kebutuhan versi Maslow (1943,1954,1965), teori
klasifikasi motivasi keluaran Murray, hingga teori-teori kuasi-psikologi
yang dianut Bukart dan Medlik (1981), Gray (1970), Dann (1977), McIntosh
(1977), Crompton (1979b), Mayo dan Jarvis (1981), Pearce (1982c), Mannell dan
Iso-Ahola (1987), Krippendorf (1987) dan Schmidhauser (1989. Akan tetapi dari sisi kepentingan bisnis pada sektor pariwisata itu sendiri dan
utamanya untuk kebutuhan statistik, tidak begitu memusingkan variasi teori
tersebut, melainkan lebih tertumpu pada satu tujuan utama melakukan perjalanan
wisata (Iqbal, 1997:6), yaitu tujuan non-imigran. Tujuan non-imigran ini
menurut Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa diklasifikasikan
ke dalam dua tujuan (pasal 5 Resolusi PBB no. 870, dalam Yoeti, 1993:123),
yaitu:
Pertama,
Plesir, melancong atau bersenang-senang (leisure), seperti untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan dan olah raga.
Plesir, melancong atau bersenang-senang (leisure), seperti untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan dan olah raga.
Kedua,
Hubungan dagang (business), keluarga, konfrensi dan misi.
Hubungan dagang (business), keluarga, konfrensi dan misi.
Jadi, dari uraian definisi dan pengertian wisatawan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa wisatawan ialah individu atau sekelompok individu yang melakukan perjalanan dari tempat asalnya ke tempat/negara lain dan berada di tempat tersebut tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan untuk tujuan tujuan bersenang-senang dan non-imigran serta tidak untuk mencari nafkah.
[1] Lihat saja karya Ross yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Psikologi Pariwisata”, terjemahan Marianto Samosir -ed.1-
- - - - - - - - - - - -
Mohammad Iqbal, SST.Par adalah sarjana pariwisata Universitas Udayana, Bali. Telah mengamati perkembangan pariwisata Bali dan Indonesia sejak tahun 1997, sebagai hotelier kini bekerja pada bagian Komunikasi Pemasaran di The Media Hotel & Towers, Jakarta.
9 comments:
makasih atas penjelasannya
air max 95
longchamp
new england patriots jerseys
nike air max
adidas yeezy boost
air force ones
nike air max
michael kors outlet
cartier bracelet
air jordans
saics running shoes
true religion outlet store
toms shoes
supra sneakers
coach outlet
cowboys jerseys
fitflops shoes
oakley sunglasses
hugo boss suits
ugg boots
san antonio spurs
longchamp outlet
true religion outlet
christian louboutin shoes
air jordan shoes
coach outlet online
kate spade sale
louboutin shoes
tennessee titans jersey
packers jerseys
michael kors handbags
chicago bulls
coach outlet store online
coach outlet
ferragamo shoes
uggs outlet
prada shoes
clippers jersey for sale
cheap ray bans
mont blanc pens
jordan 4
oakland raiders jerseys
ray ban sunglasses
oakley sunglasses wholesale
ray ban sunglasses
cheap oakley sunglasses
coach outlet online
tods shoes
michael kors uk
nike trainers
zzzzz2018.5.15
michael kors outlet clearance
ralph lauren outlet
ecco outlet
nike air huarache
ralph lauren outlet
adidas outlet
ralph lauren outlet
golden goose
nike air max 95 ultra
michael kors outlet
qzz0609
ugg boots
pandora
moncler jackets
canada goose outlet
polo ralph lauren
kobe 9
freshjive clothing
canada goose outlet
raptors jerseys
under armour outlet
I feel this is among the such a lot vital info for me. And i am satisfied studying your article. However wanna commentary on few general things, The website style is ideal, the articles is truly nice
Tangki Panel
Tangki Fiberglass
Jual Septic Tank
Post a Comment