Oleh: Dadang Kadarusman
“Siapa yang ingin kaya, angkat tangan!?!” Misalkan saja seseorang berteriak seperti itu di sebuah forum yang Anda ikuti, apakah Anda akan ikut angkat tangan? Mungkin ya. Mungkin juga tidak. Jika Anda tidak ikutan mengangkat tangan, apakah itu artinya Anda tidak ingin kaya? Saya yakin, Anda – seperti halnya saya – ingin kaya; sekalipun Anda tidak ikut-ikutan mengangkat tangan. Kenapa saya yakin? Karena saya pun belum tentu mau mengangkat tangan jika seseorang memerintahkan itu kepada saya. Walaupun saya mendapatkan ‘imbalan’ berupa pernyataan ini;”Gimana mau kaya, ngangkat tangan saja tidak mau!”. Sekarang saya semakin sadar, bahwa bagi beberapa orang; urusan menjadi kaya ini merupakan urusan pribadi. Dan saya sendiri bukan sekedar ingin menjadi orang kaya, melainkan menjadi orang ‘kaya beneran’. Lho, memangnya ada orang yang kaya abal-abal?
Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua saya dikampung. Dengan Ayah, biasanya saya ngobrol soal politik dan tanaman sayuran di kebun Ayah. Dengan Ibu, biasanya saya bicara soal ‘gosip’ yang sedang menghangat di kampung kami seperti proses pemilihan lurah, atau pendataan lansia, atau soal Pendidikan Anak Usia Dini dimana Ibu saya ikut mengelolanya. Namanya gossip, seru banget. Salah satunya soal penggebukkan seorang warga pendatang di kampung kami. Barbar? Tidak usah buru-buru memvonis dulu. Peristiwa itu terjadi bukan tanpa sebab. Konon lelaki perlente itu menikahi salah seorang gadis di kampung kami. Jadi sekarang dia sudah menjadi bagian dari warga kami. Yang menjadi masalah adalah; ‘ternyata keadaan sebenarnya orang itu tidak seperti yang diperlihatkannya ketika sebelum menikah’.
Setiap kali berkunjung ke rumah pacarnya, lelaki itu selalu mengendarai mobil mewah. Bukan sekedar mewah. Bahkan berganti-ganti. Orangnya royal. Dan pakaiannya menjadikan dirinya sebagai lelaki yang ‘charming’. Begitu menikah, tiba-tiba saja semuanya berubah. Mobil dan semua kemewahan itu tidak pernah lagi menemani kehadirannya. Maka ketika keluarga dan kerabat gadis itu menyadari telah dibohongi, terjadilah peristiwa itu.
Gosip itu hanya contoh kecil, betapa kita mudah terpesona oleh penampilan dan tongkrongan seseorang. Kalau soal ganti-ganti gadget sih, sudah tidak terlalu wah lagi kali ya. Pembantu saya juga gadgetnya lebih bagus dari milik saya. Kita, selalu terpesona pada kekayaan yang massif. Misalnya, kepada seseorang yang rumahnya besar, megah dan mewah; maka kita menyebutnya orang kaya. Bila orang itu punya berbagai macam mobil keren lengkap dengan plat nomor khusus 3 huruf sesuai inisial namanya; maka kita pun menyebutnya orang kaya sekali. Kalau orang itu juga mengenakan gelang atau kalung emas segede tali tambang galangan kapal, kita langsung terkesima sembari berkata dalam hati; “Gile, gelangnya gede banget…….” Dia orang yang kaya Bang-Gets!
Sudah kayakah orang yang kita lihat itu? Jelas. Mereka kaya sekali. Jika mereka tidak kaya, bagaimana mungkin bisa hidup dalam gelimang kemewahan seperti itu, kan? Coba sekarang bandingkan dengan diri kita sendiri. Halah, rasanya kok seperti jarak antara langit dan bumi. Rumah biasa saja. Masih kreditan pula. Boro-boro renovasi. Membayar cicilan bulannya saja masih sering sambil mengurut dada segala. Mobil satu-satunya pun sudah lumayan berumur. Kalau baru juga tidak termasuk mewah. Meskipun masih bau dealer, tapi juga masih agak minder kalau pas reuni dengan teman-teman kuliahan. Mereknya, nggak benafid banget. Jangan lupa juga, itu pun statusnya fasilitas kantor. Jelas jika kita kalah kaya dibandingkan teman-teman yang berumah besar, bermobil banyak, dan berpenampilan necis itu. Tetapi, apakah mereka benar-benar kaya? Nah, kalau soal ini; kita tidak tahu persis.
Sungguh, saya masih sering merindukan untuk menjadi orang kaya. Anda juga kan? Sebaiknya begitu, kecuali Anda sudah menjadi orang kaya. Kaya beneran itu tadi. Dan setiap kali saya melintasi rumah megah yang besarnya minta ampun, saya selalu berbisik dalam hati;”orang ini kerjanya apa sih kok bisa punya rumah segede gini…?”
Setiap kali mobil kelas menengah saya ini disalip oleh mobil sport mewah yang berpelat khusus saya bertanya-tanya;”Gimana sih cara orang itu menghasilkan uang sampai bisa punya mobil sebagus itu?” Cemburu saya. Sambil sesekali gigit jari karena baru bisa bermimpi.
Namun gossip bersama Ibu saya itu menyadarkan saya kembali, bahwa menjadi kaya; itu bukan tujuan saya. Karena tujuan saya – yang sampai sekarang masih belum terwujud – adalah; menjadi orang yang kaya beneran. Seperti apa sih yang kaya beneran itu?
Mungkin Anda bisa memberikan definisi dan penjelasan masing-masing. Kalau saya, hanya akan bisa menunjukkan beberapa fenomena berikut ini. Pertama, di televisi kita sering melihat selebriti yang kaya sekali dengan kehidupannya yang glamor. Beberapa bulan kemudian, selebriti itu muncul di headline berita tentang penipuan miliaran rupiah yang dilakukannya. Orang glamor seperti itu, mungkin kaya. Tapi bukan kaya beneran.
Kedua, ada lelaki flamboyant yang perlente. Mengendarai mobil eropa yang langka. Gemar mentraktir disana-sini – khususnya bagi para perempuan cantik. Tentu, sambil meletakkan kunci mobil diatas meja makan. Melalui smart phone canggihnya dia rajin mengirimkan kata-kata mutiara yang indah seperti ‘kamu cantik’, ‘sedang apa sayang,’ ‘aku kengen,’ dan lantunan buaian indah ala pujangga lainnya. Tidak peduli, jika perempuan-perempuan itu sudah pada punya suami. Para lelaki lain yang tidak sanggup menyaingi keflamboyanannya hanya bisa ngiri dari kejauhan. Tetapi, ada satu lelaki ditempat tinggalnya yang tidak iri kepada orang itu. Dia adalah Pak Ketua RT. Tahu kenapa? Karena Pak Ketua RT itulah yang memberi keterangan ketika para debt kolektor bank hendak melakukan penagihan atas hutang-hutangnya yang dikemplang. Apakah sang cassanova itu orang kaya? Mungkin. Tapi kaya beneran? Hmmh…
Ketiga. Ada begitu banyak berita dan fenomena nyata yang sampai kehadapan kita tentang orang-orang yang kehidupan dunianya serba wah dan mewah. Bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Dijadikan acuan dan panutan oleh para pemimpi yang baru bisa ngiler seperti kita. Namun ketika orang-orang itu meninggal, mendadak saja; mobilnya disita bank. Rumahnya disegel orang. Rekening banknya dibekukan. Mereka kaya? Benar. Mereka kaya. Dan telah menikmati hidup sebagai orang kaya. Namun apakah mereka kaya beneran?
Semua fenomena itu seolah sengaja dipampangkan dihadapan mata kita, supaya kita tidak lagi sekedar bercita-cita untuk menjadi orang kaya. Banyak cara untuk menjadi kaya. Mau pilih yang mana? Bahkan seminarnya pun ada. Dan selalu dihadiri oleh peminat yang membludak. Kita, bisa dengan mudah mendapatkan nasihat dari banyak pakar untuk mendapatkan kekayaan. Begini. Begitu. Begono. Tapi masih sangat sedikit sekali nasihat untuk menjadi orang kaya beneran. Karenanya, untuk sementara ini kita mesti rajin-rajin mengingatkan diri sendiri mengenai koridor dan rambu-rambunya.
Meskipun sedikit. Dan jarang diutarakan diruang-ruang seminar maupun kantor-kantor konsultan perburuan kekayaan. Namun ada sebuah nasihat yang sangat berharga sekali untuk dipahami dan dipegang teguh oleh para perindu kekayaan seperti kita ini. Nasihat itu berbunyi begini;” “…tentang hartanya – seorang hamba akan ditanya – darimana dia mendapatkannya, dan untuk apakah dia menggunakannya….” Nasihat ini, datangnya bukan dari konsultan kekayaan, melainkan dari Rasulullah solallahu ‘alihi wasallam.
“Halah, itu kan soal akhirat. Masih jauuuuuh!” mungkin kita berpendapat demikian. Keliru. Lihatlah. Hukum manusia pun zaman sekarang sudah mensyaratkan laporan kekayaan untuk orang-orang yang ingin menduduki jabatan tertentu. Akhirat, mungkin masih jauh. Tapi tanda-tanda kebenarannya sudah semakin kelihatan didunia yang kita huni ini. Maka dari itu sahabatku, mari kita bercita-cita untuk menjadi orang kaya yang beneran.
Yaitu, orang kaya yang tidak malu dan tidak perlu menyembunyikan jawaban ketika ditanya; “Dari manakah harta yang engkau miliki itu didapatkan……?” Kita, bisa menjawabnya dengan hati tenteram. Jika untuk mendapatkan setiap rupiah yang kita miliki ini, kita hanya melakukan cara-cara dan metoda-metoda yang Tuhan sukai.
Yaitu, orang kaya yang tidak malu dan tidak perlu menyembunyikan jawaban ketika ditanya; “Untuk apakah harta yang engkau miliki itu digunakan……?” Kita, bisa menjawabnya dengan jiwa yang lapang. Jika setiap rupiah yang kita miliki ini, digunakan hanya untuk membeli dan membiayai hal-hal yang Tuhan ridoi. Jadi, masihkah Anda ingin menjadi orang kaya? Atau sekarang, Anda sudah ingin menjadi orang kaya beneran? Semoga Allah, menunjukkan jalannya. Dan menguatkan kita untuk meraihnya.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Leadership and Personnel Development Trainer
0812 19899 737 or Ms. Vivi at 0812 1040 3327
Catatan Kaki:
Tidak usah silau dengan kekayaan orang lain. Karena kita, tidak pernah tahu siapa sesungguhnya sang pemilik kekayaan itu.
Ingin mendapatkan kiriman artikel “P (=Personalism)” secara rutin langsung dari Dadang Kadarusman? Kunjungi dan bergabung di http://finance.groups.yahoo.com/group/NatIn/
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.
No comments:
Post a Comment