Sunday, December 9, 2012

Salesperson

Oleh Samsudin Berlian,

Ketika Komisi (Komunitas Sales Indonesia) membuat acara perayaan ulang tahun pertama baru-baru ini, salah satu pertanyaan mengganjal adalah apa terjemahan yang pas untuk salesperson.

Komunitas itu sendiri memakai istilah "orang sales". Cukup jelas, walaupun kamus Indonesia hanya mengenal sale yang berkaitan dengan semacam pisang atau ikan olahan yang sedap. Kata sales sendiri berasal dari Norse (Skandinavia) kunosala, berakar pada bahasa Jermanik. Seperti bisa diduga, kata ini berkaitandengan kata kerja sell (Inggris kuno sellan) yang memang sudah dari dulu punyaarti 'menjual' atau 'menyerahkan sesuatu'.

Menyerahkan di sini bersifat sukarela, dengan kesepakatan barter, misalnya. Kalau menyerahkan karena dipaksa, sih, namanya dirampok. Walaupun di Nusantara ini sudah ribuan tahun kita kenal budaya jual-beli dan tukar-menukar, kata salesperson sendiri belum lama kita kenal sebagai bagian dari sistem pasar modern. Pada kata ini, yang ditekankan adalah profesi berjualan, bukan barang yang dijual. Itu sebabnya kata penjual atau penjaja terasa kurang cocok untuk menerjemahkannya.

Sudah waktunya memanfaatkan sistem pengimbuhan kita yang fleksibel itu: pejual. Penekanan pada profesi mendefinisikan pejual profesional. Mereka berfungsi memenuhi kebutuhan pembeli, baik barang maupun jasa, secara memuaskan, bukan sekadar menghabiskan stok barang. Mereka bukan hanya menjadi pejual ketika sedang berjualan; pejual adalah bagian dari jati diri mereka sepanjang waktu. Pejual ideal bukan hanya terampil bercuap-cuap, melainkan memiliki karakter, budi pekerti seorang pejual yang baik.

Dalam bahasa Inggris ini disebut salesmanship, yang maknanya mencakup mahir berjual tapi tanpa berbual; tidak membohongi pembeli, misalnya, barang kelas kambing dibilang kelas gajah. Ini kira-kira analogis dengan sportsmanship, yang sudah umumdikenal di sini sebagai sportivitas, perilaku olahragawan yang etis, misalnya,pantang menang curang, atau tidak menilap uang pembangunan gedung olahraga.

Jadi, memang patut disayangkan bahwa pejual justru biasanya dianggap umum identik dengan pengeliling yang menjengkelkan karena setelah mengetok-ngetok pintu rumah tanpa diundang, lantas susah disuruh pergi dengan baik-baik. Ada lagi yang suka menelepon dan mengirimkan SMS tak habis-habis yang bikin jengkel membuat waktu terbuang, mengganggu konsentrasi, danmemangkas nikmat bobok siang. Juga cukup banyak yang mengiming-imingi calonpembeli dengan seribu satu "keuntungan" yang langsung menguap begitu pembayaran dilakukan.

 Barangkali yang terakhir ini mendapatkan inspirasi dari kisah pejual sukses pertama yang dikenal manusia, tentang si ular yang dengan bertanam tebu di bibir berhasil "menjual" buah terlarang itu kepada manusia di Firdaus Eden. Barangkali ini bisa jadi pekerjaan rumah Komisi dalammembantu para pejual meningkatkan standar perilaku mereka untuk membangun namabaik jangka panjang dan jangan asal kejar komisi sambil melupakan etika. Komunitasini bisa juga ganti nama, misalnya, jadi Kopi (Komunitas Pejual Indonesia) yang nikmat segar, dan biarlah urusan komi$i-komi$ian diserahkan saja kepada pakar-pakarnya di DPR.

 Samsudin Berlian, Pemerhati Makna Kata Sumber: Kompas, 07 Desember 2012