Saturday, January 26, 2013

Dua Latihan Penting bagi Sales People

Oleh: Made Teddy Artiana

Meskipun dua exercise ini rada nyeleneh, namun bagi mereka yang berprofesi sebagai Sales person (penjual), ini sangatlah penting.

Yoga Praktis
Ketika bicara "Yoga" tentu bukan ritual yang saya maksud, karena memang ketika kita bicara ritual, mau tidak mau akan bersinggungan dengan agama dan kepercayaan orang-perorang.

Yoga modern, jelas berbeda. Yoga modern lebih menfokuskan diri pada senam "peregangan&qu ot;.

Terdengar sederhana, namun belajar Yoga erat kaitannya dengan belajar DIAM dan MENDENGARKAN. Dua hal itu, semakin diyakini sebagai sesuatu yang kritikal bagi kesuksesan seseorang.

Selain dua hal diatas, PENERIMAAN DIRI, PERCAYA DIRI, FLEKSIBLE, FOCUS dan FIT.
Bairkan saya menjelaskannya secara cepat kepada Anda, satu persatu.

DIAM (berdoa : meditasi, menenangkan diri) berhubungan dengan TUHAN

MENDENGARKAN : melatihkan kita untuk mendengar hal-hal yang "halus" dan sering terabaikan : nafas, jantung, gesture dan suara dari tubuh kita. Faktanya, tubuh kita intens berkomunikasi.

PENERIMAAN DIRI : Penerimaan diri adalah titik berangkat sebuah kesuksesan. Ada gerakan yang sudah bisa anda lakukan dan ada yang belum. Untuk yang belum, kata kuncinya adalah "jangan dipaksa" . Tubuh kita dan seluruh keberadaannya perlu "waktu" untuk berproses.

PERCAYA DIRI : setelah Anda bisa melakukan gerakan-gerakan challenge, maka kepercayaan diri Anda otomatis meningkat. Selain itu, yoga membakar timbunan lemak dan membuat Anda percaya diri akan bentuk tubuh Anda.

FLEKSIBLE : badan yang fleksible, dimulai dari fikiran serta sikap tubuh yang fleksible. ini melatih Anda fleksible dalam setiap pendekatan Anda ke calon pembeli. Mengapa fleksible itu menjadi penting? Karena setiap orang itu unik.

FOCUS : Yoga membuat Anda mudah sekali untuk fokus. Banyak gerakan-gerakan Yoga, yang mustahil Anda lakukan dalam keadaan tidak fokus.

FIT : jelas peredaran darah, oksigen dan pembuluh limfe yang lancar otomatis membuat Anda berada di top performance.

Exercise selanjutnya adalah......

Story Telling
Begitu banyak Sales hanya menggunakan BIBIR mereka untuk bicara. Mereka lupa menggunakan mata, wajah, tangan, kaki, sepatu, bahkan kancing baju mereka!

Dan yang menyedihkan. .mereka fasih bicara..(Dalam artian textbook atau hafalan) BUKAN bercerita. Padahal media komunikasi tertua adalah BERCERITA.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika Orang Sales...yaaa tadi itu..hanya menggunakan bibir. Lupa menggunakan TULISAN..padahal coba Anda pikirkan baik-baik..

TULISAN Anda, berbicara dengan jarak lebih jauh, lebih lama dan lebih hebat dari bibir Anda. Internet, FB, BB dan Twitter adalah kurirnya. Paketnya apa dong? Paketnya adalah CERITA.

Namun sayang Orang Sales menggunakan kurir-kurir diatas untuk mengantarkan BOM! Contohnya?

"Anda perlu produk A, B, C..beli di kami..bla..bla. .bla..."
"Hubungi kami jika Anda perlu..bla.. bla..bla"
- - - - - -
Made Teddy Artiana
(ghost-writer, photographer & event organizer)

Start the Prosperous Lunar New Year with Prosperity Packages

The Media Hotel & Towers Jakarta Offers Traditional Chinese New Year Celebration Dinner and Lion Dance Performance at the Dragon Court Chinese Restaurant.

Jakarta, January 2013Gong Xi Fat Cai..! The Media Hotel & Towers Jakarta has recently announced its preparation to commemorate the year of the Water Snake with a glorious Chinese New Year celebration. The five-star hotel which is located at Jl. Gunung Sahari No. 3 Jakarta will extend the tradition of conveying good fortune, prosperity, caring and happiness to the Lunar New Year. The hotel is offering prosperity package that include accommodation, a traditional Chinese New Year Dinner and live lion dance performance.
 
 
 
Prosperity Package
A special room package named Prosperity Package is designed to enjoy a Chinese New Year getaway with family and friends. Starting from IDR 1,300,000,- net/room/night, the package includes one night stay inclusive of breakfast for two persons, Chinese New Year’s Eve Gala-Dinner for two persons with 10-course Traditional Yu Shang set menu at Dragon Court Chinese Restaurant, Lion dance performance during the Gala-Dinner, Fortune giveaways and lucky “Angpao” draw, Complimentary Internet access in guestroom and public areas, Complimentary access to The Acropolis Spa & Fitness, Complimentary drop-off to Mangga Dua Shopping Complex subject to availability and hotel schedule and Complimentary enrollments to Voila membership.
Prosperity Dinner
Chinese Restaurant Dragon Court at The Media Hotel & Towers will present a stylish traditional Chinese New Year’s Eve Dinner labeled “Prosperity Dinner” which will feature delightful 10-course traditional Chinese set menu that include the famous Yu Shang to bring luck and fortune for the rest of the year.
There are three different types of dinner menu to offer, starting from Rp.3.500.000,- net per 10 persons or Rp.350.000,- net per person. As a gift, guests will receive a special lunar year giveaway.
The hotel will also provide a free night stay when guests book the Prosperity Dinner for 10 persons. As a tradition, there will be also Lucky Dip Angpau for every guest to draw and to get a chance of bringing home some attractive prizes.
Lion Dance Performance
To accomplish the festive evening, a dazzling lion dance performance will be lively shown at the hotel’s lobby, starting at 19:00hrs. General Manager The Media Hotel & Towers Algamar Idris said, it has become a regular program for the hotel to offer Lunar Year promotion, and in this year the hotel celebrates the Lunar New Year with even more attractive packages, as well as offering Lion Dance show, a tradition of Chinese art performance.
“Jakarta as a metropolitan city is rich in multi-cultural communities, ethnics and traditions. Our commitment is to pamper our guests with those traditions and local genius into our special offers. This Barongsai or Lion Dance performance is one of those efforts,” said Algamar.
*  *  *  *  *

About The Media Hotel & Towers, Jakarta.

The Media Hotel & Towers is a five-star hotel strategically located in the northern area of Central Jakarta, close to the Mangga Dua world-class shopping complex and Ancol dreamland, near to the largest exhibition hall; Jakarta International Expo (JI EXPO) and it has direct access to the Soekarno-Hatta International Airport. Designed for both business and leisure travelers seeking luxury accommodation, high-end facilities and ultimate services, the hotel offers 350 elegantly appointed guest rooms and suites, wide-range of restaurants, cafes, lounges & bars, a one-stop health club: The Acropolis Spa & Fitness, and meeting rooms for events and wedding receptions.  For more information, please visit www.themediahotel.com

The Media Rewards.
Join The Media Rewards and gain access to the whole world with VOILA. Through The Media Rewards, guests will earn points, enjoy recognition, rewards and exclusive privileges like welcome amenities, room upgrades, priority check-in, tailored pre-arrival room preferences, and free nights while staying at exclusive 250 hotels and resorts in 120 cities across the globe. Enroll today online or meet our front desk agent. For more information, please visit www.MediaHotelRewards.com


Press Contact:

Rama J. Baskoro
Creative Promotions
The Media Hotel & Towers, Jakarta
Jl Gunung Sahari Raya No 3
Jakarta 10720 – Indonesia
Phone    : +62 21 626 3001
Fax        : +62 21 626 3011
Cell       : +62 819 04222282   
Email    : rama.baskoro@themediahotel.com
Website : www.themediahotel.com

Saturday, January 19, 2013

Kaya Beneran


Oleh: Dadang Kadarusman
 
“Siapa yang ingin kaya, angkat tangan!?!” Misalkan saja seseorang berteriak seperti itu di sebuah forum yang Anda ikuti, apakah Anda akan ikut angkat tangan? Mungkin ya. Mungkin juga tidak. Jika Anda tidak ikutan mengangkat tangan, apakah itu artinya Anda tidak ingin kaya? Saya yakin, Anda – seperti halnya saya – ingin kaya; sekalipun Anda tidak ikut-ikutan mengangkat tangan. Kenapa saya yakin? Karena saya pun belum tentu mau mengangkat tangan jika seseorang memerintahkan itu kepada saya. Walaupun saya mendapatkan ‘imbalan’ berupa pernyataan ini;”Gimana mau kaya, ngangkat tangan saja tidak mau!”.  Sekarang saya semakin sadar, bahwa bagi beberapa orang; urusan menjadi kaya ini merupakan urusan pribadi. Dan saya sendiri bukan sekedar ingin menjadi orang kaya, melainkan menjadi orang ‘kaya beneran’. Lho, memangnya ada orang yang kaya abal-abal?
 
Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua saya dikampung. Dengan Ayah, biasanya saya ngobrol soal politik dan tanaman sayuran di kebun Ayah. Dengan Ibu, biasanya saya bicara soal ‘gosip’ yang sedang menghangat di kampung kami seperti proses pemilihan lurah, atau pendataan lansia, atau soal Pendidikan Anak Usia Dini dimana Ibu saya ikut mengelolanya. Namanya gossip, seru banget. Salah satunya soal penggebukkan seorang warga pendatang di kampung kami. Barbar? Tidak usah buru-buru memvonis dulu. Peristiwa itu terjadi bukan tanpa sebab. Konon lelaki perlente itu menikahi salah seorang gadis di kampung kami. Jadi sekarang dia sudah menjadi bagian dari warga kami. Yang menjadi masalah adalah; ‘ternyata keadaan sebenarnya orang itu tidak seperti yang diperlihatkannya ketika sebelum menikah’.
 
Setiap kali berkunjung ke rumah pacarnya, lelaki itu selalu mengendarai mobil mewah. Bukan sekedar mewah. Bahkan berganti-ganti. Orangnya royal. Dan pakaiannya menjadikan dirinya sebagai lelaki yang ‘charming’. Begitu menikah, tiba-tiba saja semuanya berubah. Mobil dan semua kemewahan itu tidak pernah lagi menemani kehadirannya. Maka ketika keluarga dan kerabat gadis itu menyadari telah dibohongi, terjadilah peristiwa itu.
 
Gosip itu hanya contoh kecil, betapa kita mudah terpesona oleh penampilan dan tongkrongan seseorang. Kalau soal ganti-ganti gadget sih, sudah tidak terlalu wah lagi kali ya. Pembantu saya juga gadgetnya lebih bagus dari milik saya. Kita, selalu terpesona pada kekayaan yang massif. Misalnya, kepada seseorang yang rumahnya besar, megah dan mewah; maka kita menyebutnya orang kaya. Bila orang itu punya berbagai macam mobil keren lengkap dengan plat nomor khusus 3 huruf sesuai inisial namanya; maka kita pun menyebutnya orang kaya sekali. Kalau orang itu juga mengenakan gelang atau kalung emas segede tali tambang galangan kapal, kita langsung terkesima sembari berkata dalam hati; “Gile, gelangnya gede banget…….” Dia orang yang kaya Bang-Gets!
 
Sudah kayakah orang yang kita lihat itu? Jelas. Mereka kaya sekali. Jika mereka tidak kaya, bagaimana mungkin bisa hidup dalam gelimang kemewahan seperti itu, kan? Coba sekarang bandingkan dengan diri kita sendiri. Halah, rasanya kok seperti jarak antara langit dan bumi. Rumah biasa saja. Masih kreditan pula. Boro-boro renovasi. Membayar cicilan bulannya saja masih sering sambil mengurut dada segala. Mobil satu-satunya pun sudah lumayan berumur. Kalau baru juga tidak termasuk mewah. Meskipun masih bau dealer, tapi juga masih agak minder kalau pas reuni dengan teman-teman kuliahan. Mereknya, nggak benafid banget. Jangan lupa juga, itu pun statusnya fasilitas kantor. Jelas jika kita kalah kaya dibandingkan teman-teman yang berumah besar, bermobil banyak, dan berpenampilan necis itu. Tetapi, apakah mereka benar-benar kaya? Nah, kalau soal ini; kita tidak tahu persis.
 
Sungguh, saya masih sering merindukan untuk menjadi orang kaya. Anda juga kan? Sebaiknya begitu, kecuali Anda sudah menjadi orang kaya. Kaya beneran itu tadi. Dan setiap kali saya melintasi rumah megah yang besarnya minta ampun, saya selalu berbisik dalam hati;”orang ini kerjanya apa sih kok bisa punya rumah segede gini…?”
 
Setiap kali mobil kelas menengah saya ini disalip oleh mobil sport mewah yang berpelat khusus saya bertanya-tanya;”Gimana sih cara orang itu menghasilkan uang sampai bisa punya mobil sebagus itu?” Cemburu saya. Sambil sesekali gigit jari karena baru bisa bermimpi.
 
Namun gossip bersama Ibu saya itu menyadarkan saya kembali, bahwa menjadi kaya; itu bukan tujuan saya. Karena tujuan saya – yang sampai sekarang masih belum terwujud –  adalah; menjadi orang yang kaya beneran. Seperti apa sih yang kaya beneran itu?
 
Mungkin Anda bisa memberikan definisi dan penjelasan masing-masing. Kalau saya, hanya akan bisa menunjukkan beberapa fenomena berikut ini. Pertama, di televisi kita sering melihat selebriti yang kaya sekali dengan kehidupannya yang glamor. Beberapa bulan kemudian, selebriti itu muncul di headline berita tentang penipuan miliaran rupiah yang dilakukannya. Orang glamor seperti itu, mungkin kaya. Tapi bukan kaya beneran.
 
Kedua, ada lelaki flamboyant yang perlente. Mengendarai mobil eropa yang langka. Gemar mentraktir disana-sini – khususnya bagi para perempuan cantik. Tentu, sambil meletakkan kunci mobil diatas meja makan. Melalui smart phone canggihnya dia rajin mengirimkan kata-kata mutiara yang indah seperti ‘kamu cantik’, ‘sedang apa sayang,’ ‘aku kengen,’ dan lantunan buaian indah ala pujangga lainnya. Tidak peduli, jika perempuan-perempuan itu sudah pada punya suami. Para lelaki lain yang tidak sanggup menyaingi keflamboyanannya hanya bisa ngiri dari kejauhan. Tetapi, ada satu lelaki ditempat tinggalnya yang tidak iri kepada orang itu. Dia adalah Pak Ketua RT. Tahu kenapa? Karena Pak Ketua RT itulah yang memberi keterangan ketika para debt kolektor bank hendak melakukan penagihan atas hutang-hutangnya yang dikemplang. Apakah sang cassanova itu orang kaya? Mungkin. Tapi kaya beneran? Hmmh…
 
Ketiga. Ada begitu banyak berita dan fenomena nyata yang sampai kehadapan kita tentang orang-orang yang kehidupan dunianya serba wah dan mewah. Bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Dijadikan acuan dan panutan oleh para pemimpi yang baru bisa ngiler seperti kita. Namun ketika orang-orang itu meninggal, mendadak saja; mobilnya disita bank. Rumahnya disegel orang. Rekening banknya dibekukan. Mereka kaya? Benar. Mereka kaya. Dan telah menikmati hidup sebagai orang kaya. Namun apakah mereka kaya beneran?
 
Semua fenomena itu seolah sengaja dipampangkan dihadapan mata kita, supaya kita tidak lagi sekedar bercita-cita untuk menjadi orang kaya. Banyak cara untuk menjadi kaya. Mau pilih yang mana? Bahkan seminarnya pun ada. Dan selalu dihadiri oleh  peminat yang membludak. Kita, bisa dengan mudah mendapatkan nasihat dari banyak pakar untuk mendapatkan kekayaan. Begini. Begitu. Begono. Tapi masih sangat sedikit sekali nasihat untuk menjadi orang kaya beneran. Karenanya, untuk sementara ini kita mesti rajin-rajin mengingatkan diri sendiri mengenai koridor dan rambu-rambunya.
 
Meskipun sedikit. Dan jarang diutarakan diruang-ruang seminar maupun kantor-kantor konsultan perburuan kekayaan. Namun ada sebuah nasihat yang sangat berharga sekali untuk dipahami dan dipegang teguh oleh para perindu kekayaan seperti kita ini. Nasihat itu berbunyi begini;” “…tentang hartanya – seorang hamba akan ditanya – darimana dia mendapatkannya, dan untuk apakah dia menggunakannya….” Nasihat ini, datangnya bukan dari konsultan kekayaan, melainkan dari Rasulullah solallahu ‘alihi wasallam.
 
“Halah, itu kan soal akhirat. Masih jauuuuuh!” mungkin kita berpendapat demikian. Keliru. Lihatlah. Hukum manusia pun zaman sekarang sudah mensyaratkan laporan kekayaan untuk orang-orang yang ingin menduduki jabatan tertentu. Akhirat, mungkin masih jauh. Tapi tanda-tanda kebenarannya sudah semakin kelihatan didunia yang kita huni ini. Maka dari itu sahabatku, mari kita bercita-cita untuk menjadi orang kaya yang beneran.
 
Yaitu, orang kaya yang tidak malu dan tidak perlu menyembunyikan jawaban ketika ditanya; “Dari manakah harta yang engkau miliki itu didapatkan……?” Kita, bisa menjawabnya dengan hati tenteram. Jika untuk mendapatkan setiap rupiah yang kita miliki ini, kita hanya melakukan cara-cara dan metoda-metoda yang Tuhan sukai.  
 
Yaitu, orang kaya yang tidak malu dan tidak perlu menyembunyikan jawaban ketika ditanya; “Untuk apakah harta yang engkau miliki itu digunakan……?” Kita, bisa menjawabnya dengan jiwa yang lapang. Jika setiap rupiah yang kita miliki ini, digunakan hanya untuk membeli dan membiayai hal-hal yang Tuhan ridoi.  Jadi, masihkah Anda ingin menjadi orang kaya? Atau sekarang, Anda sudah ingin menjadi orang kaya beneran? Semoga Allah, menunjukkan jalannya. Dan menguatkan kita untuk meraihnya.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Leadership and Personnel Development Trainer
0812 19899 737 or Ms. Vivi at 0812 1040 3327
 
Catatan Kaki:
Tidak usah silau dengan kekayaan orang lain. Karena kita, tidak pernah tahu siapa sesungguhnya sang pemilik kekayaan itu.
 
Ingin mendapatkan kiriman artikel “P (=Personalism)” secara rutin langsung dari Dadang Kadarusman?  Kunjungi dan bergabung di http://finance.groups.yahoo.com/group/NatIn/
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.

Pengertian Wisatawan


Oleh Mohammad Iqbal

“Ketika ada seseorang mengunjungi temannya ke negara lain, apakah ia seorang wisatawan (tourist)? Jika seseorang melakukan perjalanan ke negara lain dalam rangka tugas kerja, apakah ia seorang wisatawan? Bila serombongan keluarga pergi ke Indonesia selama seminggu untuk beristirahat dan mencari panas sinar matahari, apakah mereka wisatawan? Atau jika Anda sendiri berkunjung ke tetangga Anda ke kampung sebelah, apakah Anda dikategorikan wisatawan? Kemungkinan jawaban semua pertanyaan itu adalah ‘ya’.”
(Nielsen, 2001:11)

Jadi siapa itu Wisatawan? Pendifinisian terminologi “wisatawan” sebenarnya telah banyak dibincangkan para peneliti sosial dan psikologi semenjak dulu sekitar tahun 30an. Namun batasan pasti yang dianggap paling bisa diterima secara global dan mendapat pengakuan yang melembaga oleh WTO baru terwujud pada tahun 60an.  Peneliti-peneliti seperti Coltman (1930), Kaiser & Helber (1934), Wall (1954), Matheison (1954), McIntosh (1972), Salah Wahab (1975), adalah insan-insan pemikir jaman pra abad 21 yang banyak berjasa menyumbangkan pemikiran tentang konsep pariwisata dan wisatawan. Selanjutnya di era 90an muncul nama-nama seperti Inskeep (1991), Foster (1994) Harssel (1994), yang turut memperkaya khasanah dan hiruk-pikuk perkembangan pariwisata sebagai ilmu.

Dalam kaitannya dengan membatasi definisi wiatawan, selain para peneliti tersebut, ternyata beberapa negara yang memiliki perhatian serius terhadap sektor pariwisata, juga mengeluarkan batasan tersendiri. Sebut saja Italia yang kemudian berhasil mendefinisikan wisatawan melalui konfrensi Roma-nya (1963), Amerika Serikat dengan Konfrensi New York-nya (1954), Australia dengan ATC-nya (Australian Tourism Commision, 1992) dan Indonesia dengan Inpres No 9/1969. Makin marak lagi, pariwisata modern mendapat sumbangan pemikiran dari kelompok-kelompok dan badan-badan dunia pemerhati pariwisata. Muncullah sumbangan-sumbangan dari International Union of Official Travel Organization (IUOTO,1963), Pacific Area Travel Association (PATA), United Nation Organization  (UNO), International Airlines & Travel Agencies Association (IATA), American Hotel Motel Association (AHMA), dan World Travel Organization (WTO, 1960).

Di Indonesia, peneliti pariwisata sekelas Oka A Yoeti juga turut memberi sumbangan batasan tentang siapa itu wisatawan. Menurut Yoeti, untuk bisa masuk dalam kategori wisatawan, maka setidaknya seseorang haruslah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Melakukan perjalanan itu lebih dari 24 jam.
- Perjalanan itu dilakukan hanya untuk sementara waktu.
- Orang yang melakukannya tidak mencari nafkah di tempat atau  negara yang dikunjunginya.

Yoeti menegaskan, bahwa satu syarat di atas tidak dipenuhi, maka dua syarat yang lain menjadi gugur. Oleh karena itu, suatu batasan yang memenuhi syarat haruslah mencakup ketiga syarat di atas tanpa satupun yang ditinggalkan.

Selanjutnya mari kita kaji ciri-ciri atau syarat-syarat yang dikemukakan Yoeti diatas. Pertama, mengenai durasi aktifitas perjalanan. Yoeti menyatakan bahwa seorang perjalanan seorang wisatawan setidaknya dilakukan lebih dari 24 jam. Dengan pernyataan ini, dari segi waktu perjalanan, Yoeti ingin membedakan siapa itu wisatawan (tourist) dan siapa itu pelancong (excursionist) sebagaimana yang dikemukakan oleh Organization of Economic Coorporation and Development (OECD, 1970).  Dalam hal ini organissasi tersebut menyatakan;
“... a person become a tourist if he visits a place at least 24 hours; if for a shorter period, i.g. under 24 hours, he is counted as an excursionist”.
(OECD, 1970 dam Yoeti, 1993)

Lalu sampai kapan atau berapa lama batas maksimum perjalanan itu dilaksanakan? Nampaknya Yoeti tidak begitu tertarik memperhatikan hal ini, sehingga ia tidak mencantumkan batas maksimum perjalanan dalam syarat yang ia kemukakan. Untuk itu, ada baiknya kita menengok batasan wisatawan yang dikeluarkan Konfrensi New York di tahun 1954;
“Istilah wisatawan harus diartikan sebagai seseorang, tanpa membedakan ras, kelamin, bahasa dan agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan  perjanjian yang lain dari pada negara dimana orang itu biasanya tinggal dan berada  disitu tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan di dalam jangka waktu 12 bulan berturut-turut, untuk tujuan yang legal, seperti misalnya perjalanan wisata, rekreasi, olahraga, kesehatan, alasan keluarga, studi, ibadah, keagamaan atau urusan usaha (bussines)”.

Dari definisi diatas, jelas secara eksplisit menekankan perihal masa atau lamanya aktifitas perjalanan itu dilakukan, yaitu setidaknya 24 jam dan tidak melebihi dari 6 bulan. Argumentasi seperti ini sangat dapat diterima mengingat seorang yang berdomisili di negara lain melebihi dari 6 bulan berturut-turut, tentulah bukan dalam rangka berwisata, akan tetapi dapat dipastikan dalam rangka kegiatan non-leisure lainnya seperti bisnis, berdagang, kerja, kuliah, atau bahkan menetap untuk menjalani proses menjadi warga negara tersebut.

Kedua, perjalanan seorang wisatawan bersifat sementara waktu. Ia tidak dapat menetap lebih dari 6 bulan dari suatu negara lain dan ada niat kembali ke negara asalnya.  Dari konsep ini dapat dipahami bahwa maksud dari sementara waktu ialah adanya proses perjalanan dari tempat asal (tourist generating country) menuju tempat tujuan (tourist receiving country) dan sebaliknya ada proses “mudik” atau kembali dari destinasi wisata menuju tempat asalnya. Secara singkat dapat dikatakan ada proses pergi ke destinasi dan sekaligus akan dilakukan proses pulang dari destinasi menuju rumah atau tempat asalnya.

Selain itu, sifat “sementara waktu” jika dikaitkan dengan istilah inggris tour dan istilah sanksekerta pari (perpindahan dari sutu tempat ke tempat lain) dapat diartikan sebagai aktifitas perputaran, atau perpindahan atau perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain. Dengan artian semacam ini menunjukkan adanya sifat kesementaraan waktu, mengingat perjalanan tersebut berputar atau berpindah dari suatu tempat ke tempat lain.

Ketiga, seorang wisatawan tidak mencari nafkah di tempat atau negara yang dikunjunginya. Melalui pernyataan ini, Yoeti nampaknya ingin menyampaikan tentang motivasi, alasan atau tujuan melakukan perjalanan wisata. Seperti yang dipaparkan Glenn F. Ross (1994), bahwa ada banyak ragam teori motivasi melakukan perjalanan. Dari teori kebutuhan versi Maslow (1943,1954,1965), teori klasifikasi motivasi keluaran Murray, hingga teori-teori kuasi-psikologi yang dianut Bukart dan Medlik (1981), Gray (1970), Dann (1977), McIntosh (1977), Crompton (1979b), Mayo dan Jarvis (1981), Pearce (1982c), Mannell dan Iso-Ahola (1987), Krippendorf (1987) dan Schmidhauser (1989. Akan tetapi dari sisi kepentingan bisnis pada sektor pariwisata itu sendiri dan utamanya untuk kebutuhan statistik, tidak begitu memusingkan variasi teori tersebut, melainkan lebih tertumpu pada satu tujuan utama melakukan perjalanan wisata (Iqbal, 1997:6), yaitu tujuan non-imigran. Tujuan non-imigran ini menurut Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa diklasifikasikan ke dalam dua tujuan (pasal 5 Resolusi PBB no. 870, dalam Yoeti, 1993:123), yaitu:
 
Pertama,
Plesir, melancong atau bersenang-senang (leisure), seperti untuk keperluan rekreasi, liburan, kesehatan, studi, keagamaan dan olah raga.
 
Kedua,
Hubungan dagang (business), keluarga, konfrensi dan misi.

Jadi, dari uraian definisi dan pengertian wisatawan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa wisatawan ialah individu atau sekelompok individu yang melakukan perjalanan dari tempat asalnya ke tempat/negara lain dan berada di tempat tersebut tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan untuk tujuan tujuan bersenang-senang dan non-imigran serta tidak untuk mencari nafkah.
 

[1] Lihat saja karya Ross yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul “Psikologi Pariwisata”, terjemahan Marianto Samosir -ed.1- Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

- - - - - - - - - - - -
 
Mohammad Iqbal, SST.Par adalah sarjana pariwisata Universitas Udayana, Bali. Telah mengamati perkembangan pariwisata Bali dan Indonesia sejak tahun 1997, sebagai hotelier kini bekerja pada  bagian Komunikasi Pemasaran di The Media Hotel & Towers, Jakarta. 

Mengelola Kesibukan Di Kantor


Oleh:
Dadang Kadarusman

Dalam beberapa hari terakhir, kita sudah membahas tentang kesibukan dari berbagai aspek. Hingga kita memahami bahwa ada kesibukan semu. Yaitu kebibukan yang kita klaim. Kita ini sebenarnya tidak sibuk. Tapi kita merasa sibuk sekali. Itu yang kita sebut sebagai sibuk dari Hong Kong. Yang kedua adalah kesibukan yang sebenarnya. Nggak dibuat-buat. Kita benar-benar sibuk hingga ke ubun-ubun. Sekalipun demikian, sejauh ini kita baru membahas kesibukan itu dari aspek pribadi. Artinya, bagaimana kita secara pribadi menyikapi kesibukan itu. Agar efektivitas dan produktivitas pribadi bisa tetap terpelihara. Pertanyaannya adalah; apakah kesibukan itu bisa diatasi secara kelembagaan, system atau melalui kebijakan? Supaya sebanyak apapun pekerjaan, karyawan bisa menikmati hari-hari kerjanya. Dan terus bersemangat dalam jangka panjang. Gampangnya begini; sebagai seorang pemimpin, bisakah Anda membantu perusahaan dan anak buah Anda untuk mengelola kesibukan hingga ke ubun-ubun itu secara tepat?
 
Jika mengenang kisah itu, saya masih suka senyum-senyum sendiri. Saya ceritakan ya, tapi disamarkan detailnya. Dikantor kami dulu ada atasan yang betah sekali bekerja. Efek sampingnya adalah; anak buahnya jadi sungkan kalau mau pulang. Padahal, untuk meninggalkan kantor, mereka mesti melintasi ruang kerja beliau. Ada teman nih, yang sudah nggak tahan. Pengen pulang. Wajar dong, kan sudah malam. Maka dia pun mengendap-endap menuju pintu keluar. Sudah bagus sih tekniknya. Tidak ada suara dari sepatunya. Tidak ada hal apapun yang mencurigakan. Maka, kawan kita pun melanjutkan jinjitnya sambil membungkuk. Ndilalah. Selagi merayap itu, bossnya kepingin ke toilet. Maka beliau pun bergegas keluar dari ruangannya. Pas didepan pintu, beliau melihat anak buahnya sedang merayap dengan tubuh yang ditekuk. Mereka pun sama-sama terperanjatnya. Yang satu terkejut karena ketahuan. Yang satu lagi terkejut karena mengira ada mahluk jadi-jadian. Ini salah satu contoh dampak dari tata kelola yang keliru terhadap kesibukan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar mengelola kesibukan yang terjadi di kantor, saya ajak memulainya dengan memahami dan menerapkan 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™)berikut ini:   
 
1.      Kesibukan itu bukan rutinitas. Salah satu ciri kesibukan yang sebenarnya adalah; tidak terjadi setiap hari secara terus menerus. Sengaja saya menggunakan kalimat negatif ini; “tidak terjadi setiap hari secara terus menerus”. Mengapa? Karena kita sering keliru mengira bahwa team kerja atau perusahaan yang paling baik adalah team kerja yang setiap hari bekerja pak pik pek terus. Selalu mulai paling awal. Dan selalu selesai paling akhir. Dengan mulut manyun dan muka kusyut sepanjang waktu. Padahal, jika kesibukan itu sudah menjadi sebuah rutinitas, maka ada kemungkinan bahwa hal itu terjadi karena ada yang salah dalam cara kerja atau proses bisnis mereka. Jadi, jika team kerja yang Anda pimpin ‘selalu’ sibuk sehingga hal-hal rutin berupa tugas-tugas pokok harian itu sudah menyita waktu dan energy yang sedemikian banyaknya, sebaiknya jangan berbangga hati dulu. Karena boleh jadi, justru hal merupakan sebuah sinyal adanya ketidakberesan dalam pola kerja team Anda. Hampir bisa dipastikan, bahwa kesibukan sampai keubun-ubun yang menjadi rutinitas bukan kesibukan yang tepat. Karena kesibukan itu, bukan sebuah rutinitas.
 
2.      Temukan alasan logis munculnya kesibukan itu. Penting lho, untuk menemukan alasan yang logis tentang munculnya kesibukan yang kita alami. Misalnya, sedang ada proyek yang sudah mendekati deadline. Atau sedang ada jadwal submission laporan keuangan kuartalan ke kantor pusat. Atau, system sedang crash sehingga mesti segera diatasi. Perhatikan kembali ketiga situasi diatas. Semuanya menuntut kita bekerja sampai larut malam. Bahkan mesti sampai menginap. Namun sangat jelas alasannya. Karena ada sesuatu yang istimewa a.k.a kejadian luar biasa yang menuntut kita untuk bekerja dengan kesibukan luar biasa. Perhatikan frase ‘luar biasa’ yang saya gunakan. Itu menunjukkan bahwa kesibukan hingga ke ubun-ubun bukanlah untuk hal-hal yang biasa-biasa saja. Bukan untuk tugas harian normal. Dan bukan untuk kesibukan yang tidak jelas alasannya. Ketika kita bisa menunjukkan alasan logis itu kepada anak buah; maka mereka juga akan mudah untuk memahami, dan menerima konsekuensinya. Yaitu berupa; dukungan penuh dari mereka untuk bekerja ‘habis-habisan’ dalam situasi yang sudah mereka pahami secara logis itu. Ini menunjukkan bahwa alasan logis, bisa menggungah aspek nurani anak buah kita. So, temukan alasan logisnya; maka anak buah Anda akan berkomitmen penuh mendukungnya.
 
3.      Menjadi pemain utama dalam gelangggang kesibukan. “Gimana, sudah selesai?” Pertanyaan itu bisa menjadi sangat menyebalkan, jika datang dari atasan yang dia sendiri tidak ikut terlibat dalam kesibukan anak buahnya. Bayangkan deh. Anda dihadapkan pada situasi urgent sekali. Maka Anda punya alasan logis untuk sibuk banget kan? Tapi atasan Anda cuman ongkang-ongkang kali doang. Terus dia bertanya seperti tadi. Mending kalau Anda beneran sudah selesai. Kalau belum, “pengen diapain ya itu orang?”  kira-kira begitulah serapah dalam hati Anda bukan? Tapi. Pertanyaan itu juga bisa terdengar merdu, jika keluar dari mulut seorang atasan yang ikut terlibat langsung dalam kesibukan yang minta ampun itu. Anda senang mendapat pertanyaan itu, karena beliau ikut merasakan ketegangan dan kesulitannya bersama Anda. “Belum Pak, dikit lagi nih…” kan begitu jawabnya kira-kira. Coba kalau beliau bertanya sambil asyik sendiri di ruang kerjanya? Anda tidak akan punya semangat untuk menyelesaikannya. Kira-kira sikap seperti itu jugalah yang akan terjadi, jika kita yang menjadi atasan itu. Anak buah kita, akan respek kepada kita jika kita pun ikut terlibat. Bukan cuman nonton doang. Merintah-merintah melulu. Padahal kita sendiri asyik-asyik aja. So, jadilah pemain utama dalam gelanggang kesibukan itu bersama anak buah Anda.
 
4.      Kesibukan pribadi bukan kesibukan kolektif. “Kan sudah jadi konsekuensi kalian. Mau jadi pegawai tapi tidak mau sibuk? Kerja di perusahaan nenek kamu sendiri saja kalau begitu,” begitulah kira-kira tuntutan seorang atasan kepada anak buahnya. Beliau, memang dikenal sebagai orang yang sangat rajin bekerja. Datang selalu paling pagi. Pulang selalu paling malam. Jika yang menjadi beliau itu Anda, maka ketahuilah; bahwa cara kerja Anda itu tidak akan bisa diikuti oleh anak buah. Kenapa? Karena mereka, bukanlah Anda. Boleh saja jika Anda mau kerja extra terus menerus. Tapi, Anda bahkan tidak berhak menuntut hal yang sama dari anak buah Anda. Banyak lho, atasan yang gila kerja kemudian menuntut anak buahnya juga berperilaku sama. “Elo belum boleh pulang, kalau gue belum pulang!” Walhasil, beliau selalu memandang negatif anak buahnya yang tidak dikantor selama beliau. Sedangkan anak buahnya merasa diperlakukan seperti robot. Tidak nyambung deh antara atasan dan bawahan. Jadi jika Anda berada pada posisi sebagai atasan dan Anda suka sekali kerja extra, maka penting juga untuk Anda pahami bahwa pola kesibukan pribadi kita, tidak bisa dipaksakan untuk menjadi pola kesibukan kolektif di lingkungan atau team yang kita pimpin.
 
5.      Terlihat baik, belum tentu baik-baik saja “Nggak masalah kok Dang. Selama ini baik-baik saja.” Pernahkah Anda mendengar kalimat seperti itu? Kalimat yang datang dari atasan yang mengira team kerjanya baik-baik saja. Padahal sebenarnya tidak. Indikasinya apa? Satu, anak buah suka ngomongin di belakang. Dua, anak buahnya suka menggerutu. Tiga, anak buahnya giat hanya jika beliau ada. Empat, beliau sendiri mesti cape mengecek bolak balik. Lima – yang lebih parah nih – tingkat turn over karyawan di team kerjanya tinggi. Mungkin kinerjanya juga tinggi lho, memang. Namun, keberhasilan sebuah kepemimpinan tidaklah semata-mata diukur dengan angka-angka produksi. Melainkan juga dari tingkat kenyamanan dan kesediaan anak buah kita untuk tinggal bersama kita di team yang kita pimpin. Banyak lho atasan yang merasa bangga karena team kerjanya selalu menghasilkan kinerja yang tinggi dari hasil memforsir anak buahnya terus menerus. Makanya, mereka mengira semuanya baik-baik saja. Padahal, anak buahnya pada sibuk membeli koran hari sabtu dan minggu. Itu yang sering sekali mereka tidak tahu.
 
Hloh!
Bukankah perusahaan untung jika karyawannya di buat sibuk sampai ke ubun-ubun secara terus menerus? Benar. Namun keuntungan yang didapat perusahaan dengan cara seperti itu hanya bersifat sesaat. Dalam jangka panjang, justru perusahaan yang rugi. Misalnya kerugian dari perginya talenta-talenta terbaik kita. Soal talenta ini, kita tidak bisa mengatakan;”gampanglah, cari saja gantinya. Banyak kok yang mau kerja.” Hati-hati. Yang mau kerja memang banyak. Tapi yang benar-benar punya talenta terasah? Nggak semudah yang kita kira untuk kembali menggaet mereka. Belum lagi kalau dihitung biayanya. Waktu yang tersita. Sumber daya lain yang tidak terdayagunakan secara optimal. Ujung-ujungnya, zero sump up juga. Jadi, siapa yang paling bertanggungjawab untuk mengatasi hal ini? Setiap orang yang punya anak buah. Tidak masalah titelnya apa. Juga tidak jadi soal levelnya seberapa. Jika punya anak buah; maka kita punya kewajiban untuk mengelola kesibukan di kantor dengan sebaik-baiknya.
 
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Leadership and Personnel Development Trainer
Phone: 0812 19899 737 (PIN BB: 2A495F1D)   
 
Catatan Kaki:
Orang kerja memang harus sibuk setiap hari. Tapi, kesibukan luar biasa hanya bisa dimakulmi ketika perusahaan sedang menghadapi situasi yang juga luar biasa.
 
Ingin mendapatkan kiriman “L (= Leaderism)” secara rutin langsung dari Dadang Kadarusman?  Kunjungi dan bergabung di http://finance.groups.yahoo.com/group/NatIn/
 
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.


Konsep Dasar Pariwisata dan Kepariwisataan


Oleh Mohammad Iqbal

Pariwisata dan Kepariwisataan

Apa itu pariwisata? Bila Anda mendengar kata wisata atau pariwisata, apa yang sebenarnya terbersit di benak Anda? Saya pernah ajukan pertanyaan sederhana ini kepada beberapa orang dari beragam latar belakang, dan jawabannya juga beragam, mulai dari berjemur di pantai, jalan-jalan, rekreasi, pemandu wisata, pergi ke tempat pemandian, keluar kota, danau toba, Bali, hotel, restoran, piknik, dan lain sebagainya.

Dulu, sebelum saya kuliah, kemudian bekerja dan berkecimpung di sektor pariwisata, saya juga memiliki pandangan serupa dengan berbagai jawaban di atas. Malah, setiap kali terdengar kata pariwisata, atau membaca frase “dharma wisata”, maka yang ada di benak saya adalah sebuah bus besar penuh berisi orang yang sedang berkunjung ke kebun binatang. Dalam benak saya, terlihat kaca belakang bus tersebut bertuliskan “Pariwisata” dengan ukuran besar.

Apakah jawaban-jawaban tersebut di atas salah? Tentu tidak, tetapi tidak pula sepenuhnya benar. Karena memang beragam jawaban di atas bersifat parsial, sepotong-potong, tidak komplit dan hanya mewakili sebagain kecil dari konsep pariwisata yang sebenarnya. Dengan jawaban tersebut diatas tentu membuat arti pariwisata cendrerung terlalu sederhana. Padahal, pariwisata sejatinya bersifat kompleks, multi sektor, multi bidang.

Lalu apa sebenarnya pariwisata itu? Perihal pemahaman tentang pariwisata dan kepariwisataan (tour & tourism), menarik menyinggung pemaparan Oka A. Yoeti dalam bukunya “Pengantar Pariwisata”[1]. Dari tinjauan etimologi-nya saja, Yoeti mampu menggambarkan secara rinci dan membuat sekat-sekat perbedaan yang terang antara apa itu wisata, wisatawan, pariwisata, pariwisatawan dan kepariwisataan. Sedangkan dalam memahamkan terminologi pariwisata, Yoeti merujuk beberapa definisi yang telah terbit dahulu. Nama-nama seperti Hermann V. Schulalard, E. Guyer Freuler, Hunziker, K. Krapf, dan Salah Wahab diperhitungkan Yoeti sebagai pertimbangan dasar dalam membatasi makna dan pengertian pariwisata. Selain nama-nama tersebut, Yoeti juga melakukan perbandingan definisi dengan menilik beberapa pengertian yang dikeluarkan oleh Hans Buchuli, Morgenroth, Hubert Gulden, R. Gllickmann dan bahkan definisi yang dipublikasikan pemerintah Indonesia lewat Ketetapan MPRS No. I-II tahun 1960.

Perbincangan awal pada tinjauan etimologi yang dikemukakan Yoeti mengkritisi adanya penggunaan istilah pariwisata yang kerap salah kaprah berlaku pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Yoeti mencontohkan bagaimana sebuah media (surat kabar dan travel agent) dengan tanpa rasa bersalah menyatakan bahwa perjalanan wisata ke Hongkong sama halnya dengan piknik ke Hongkong. Disini, Yoeti mencoba kritis terhadap pembedaan istilah perjalanan, piknik, rekreasi, berwisata dan pariwisata sekaligus mencoba menyusun klasifikasi stuktur label besar “pariwisata” yang di dalamnya terdapat banyak klasifikasi ragam istilah perjalanan.

Untuk memperkuat argumentasinya, Yoeti menitikberatkan uariannya pada pengunaan istilah-istilah yang terkandung dalam label pariwisata. Berikut dijelaskan perbedaan tersebut sebagaimana yang dipaparkannya (Yoeti, 1988:104), antara lain;

Wisata
adalah perjalanan, dalam bahasa inggris disamakan dengan travel

Wisatawan
ialah orang yang melakukan perjalanan yang jika dikaitkan dengan wisata sama dengan traveller

Para wisatawan
adalah bentuk jamak dari wisatawan yang dalam bahasa inggris sama halnya dengan travellers (s jamak)

Pariwisata
ialah perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dan dalam bahasa inggris disebut tour

Pariwisatawan
ialah orang yang melakukan pariwisata (tour) dan dalam bahasa inggris disebut tourist.

Para pariwisatawan
adalah bentuk jamak dari pariwisatawan yang dalam bahasa inggris disebut tourists (s jamak)

Ke-pariwisata-an
adalah hal-hal yang berkaitan dengan pariwisata dan dalam bahasa inggris disebut dengan istilah tourism (gabungan tour dan ism)

Melalui uraian yang Yoeti paparkan dari pemakaian istilah, tinjauan etimologi hingga kajian definisi para pakar, Yoeti berhasil merumuskan suatu batasan tersendiri. Menurutnya, pariwisata adalah;
“...suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan berusaha (bussines) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam”.
(Yoeti, 1988:109)

Selain keluarannya berupa definisi pariwisata, Bab IV buku Yoeti juga menggarisbawahi adanya faktor-faktor penting yang perlu dicermati dalam memahami pariwisata, antara lain:
        i.      perjalanan itu dilakukan untuk sementara waktu.
      ii.      perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat  ke tempat lainnya.
    iii.      perjalanan itu, walaupun bentuknya, harus selalu dikaitkan dengan pertamasyaan atau rekreasi.
    iv.      Orang  yang melakukan perjalanan tersebut tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya dan semata-mata sebagai konsumen di tempat tersebut.

Setuju dengan Yoeti, saya sendiri beranggapan bila salah satu saja dari faktor-faktor tersebut tidak dipenuhi, maka tidak sah suatu perjalanan itu disebut pariwisata. Ini berarti batasan dari pariwisata haruslah tidak keluar dari kerangka empat faktor tersebut diatas. Bahwasanya dapat dikategorikan sebagai perjalanan wisata (pariwisata) bila perjalanan itu dilaksankan untuk sementara waktu (diatas 24 jam, di bawah 6 bulan)[2] ke suatu tujuan/tempat wisata dan untuk tujuan berwisata, bukan untuk mencari nafkah (job).

Definisi Pariwisata di Era Kontemporer


Disamping definisi keluaran Yoeti dan para pemikir pariwisata jaman 40an hingga 80an, perlu juga menilik definisi dari peneliti era kontemporer akhir 90an dan abad 21 ini. Mengenai hal ini, menarik menilik keluaran definisi dan pemikiran yang dikemukakan Christian Nielsen dalam memaparkan pengertian pariwisata. Menurut Nielsen (2001), dalam mendefinisikan kepariwisataan, banyak pendekatan yang bisa diambil oleh para peneliti pada tahun-tahun belakangan ini. Setidaknya ada enam pendekatan bisa digunakan, antara lain; pendekatan ekonomi, teknis, pengalaman, psikologis, menyeluruh dan komunikasi.

Definisi Ekonomi (economic)

Memandang kepariwisataan sebagai sebuah aktivitas ekonomi, sama dengan mengenalnya sebagai suatu industri pada umumnya. Dalam menyepakati gagasannya, Nielsen mengambil definisi yang ditawarkan Ryan, seorang ahli ekonomi asal Eropa.  Definisi Ryan sebagai berikut ;
“... a study of the demand for, and suply of accommodation and supportive services for those staying away from home, and the resultant patterns of expenditure, income creation and employment”.
(Ryan 1991a)

Definisi ini, menurut kritik Nielsen ternyata masih terlalu lunak (blend defininition). Perlu dicatat bahwa definisi ini tidak memasukkan referensi tentang bersenang-senang dan pelesir. Definisi ini meliputi kunci-kunci tertentu seperti demand & supply dan stay away from home.  Kelalaian mencantumkan kata kata seperti travel, trip, journey (atau bentuk lain perpindahan) merupakan kelemahan yang penting darinya– utamanya dalam mengangkat salah satu model dasar kepariwisataan yang diajukan Laws (1991), lihat bagan 2.1. Model ini membedakan antara rumah (home) dan beberapa tempat tujuan (destination), dan mengindikasikan usaha fisik yang terkandung dalam bergerak ke dan dari rumah.

Bagan 2.1
Model dasar pariwisata (the basic tourism model)



Definisi Teknis (technical)

Para perencana pariwisata (tourism planner) memiliki perbedaan interpretasi terhadap kepariwisataan, tergantung pada bagaimana kebutuhan individu dan orientasi  mereka. Hal ini sama artinya bahwa pendekatan mereka dalam mendefinisikan kepariwisataan akan merefleksikan pada atribut-atribut teknis yang lebih spesifik. Pariwisata dapat didefinisikan dari sisi salah satu alasan melakukan perjalanan[3] –baik itu alasan bersenag-senang, alasan keluarga atau bisnis. Sebagai contoh, American Express mengklaim bahwa:
“Travel and tourism is a vast complex network of bussines engaged in the lodging, transpostation, feeding and entertainment of traveller”.
American Express, quoted by Ryan 1991a.

Meskipun singkat, definisi ini cukup menyatakan secara jelas daerah umum operasi American Express, dan juga mewakili seluruh definisi pariwisata dari sisi bisnis. Menurut Nielsen, definisi ini agak terlalu meluas untuk memuaskan keinginan khusus dari beragam komponen (participants) pariwisata yang ada. Para ekonom mungkin meminta pengertian yang lebih jelas dan wisatawan mungkin tidak dihargai (ter-apresiasi) oleh pemikiran bahwa dirinya sebagai bagian dari “network of bussines”. Wisatawan tentunya lebih senang jika mereka hanya diperlakukan sebagai penikmat liburan. Nielsen mengkritik bahwa sisi bisnis seharusnya hanya digarisbawahi, bukan dikedepankan sebagai alasan teknis pendefinisian pariwisata.

Definisi Pengalaman (experiential)

Memahami bahwa setiap individu itu berbeda, maka pariwisata dapat didefinisikan untuk mengakomodasi dampak setiap pengalaman seseorang dalam melakukan perjalanan. Keinginan untuk memenuhi kepuasan sensual (sensual gratification) ini ialah komponen utama dalam mengisi liburan para turis, yang mana motivasi utamanya ialah beristirahat, bersenang-senang, petualangan, penemuan baru, dll. Definisi dengan pendekatan ini misalnya;
“... benefits that arise from experincing new places, and new situations that are of a temporary duration, whilst free from the constrains of work, or normal patterns of daily life at home”.
(Ryan, 1991a)

Definisi ini secara jelas menggarisbawahi kesepakatannya dalam memilih elemen escapism atau “melarikan diri” sebagai motivasi utama melakukan perjalanan wisata. Alasan melakukan perjalanan wisata untuk melarikan diri dari rutinitas kehidupan sehari-hari merupakan alasan yang cukup banyak dimiliki para wisatawan.  Pada definisi ini, rasa emosi dan pengembangan diri begitu inheren.

Definisi Psikologi (psyichological)

Manfaat ilmu psikologi bagi pariwisata tampak jelas seperti hubungannya dengan perjalanan liburan. Dengan ilmu psikologi dapat menentukan motivasi, kondisi ekonomi dan permintaan adanya perjalanan dari seorang calon wisatawan. Contoh sederhana dari definisi psikologi telah diberikan oleh Nielsen selama wawancaranya dengan seorang mantan manager Airport di New Zealand, di bawah ini;
“... (people go to) places they have always wanted to go. A great many Australian go to Europe -Italians, Greeks, Yugoslavs- not so much now ...”
(Interviews, Holt 1995)

Pernyataan di atas merupakan hasil kombinasi antara alasan pengalaman dan  psikologi, yang mungkin menekankan faktor impian masa kanak-kanak --keinginan, semenjak awal masa kanak-kanak  (ketika fantasi begitu mudah lari ke hal-hal yang lebih liar dan sama sekali baru) untuk melihat sesuatu. Meskipun mengesankan dalam kesederhanaannya, tapi definisi di atas gagal menangkap hakikat pariwisata (essense of tourism). Ia telah gagal menjelaskan mengapa mereka selalu ingin pergi keluar ke tempat yang  sama. Hal ini karena orang tua mereka berasal dari tempat yang sama? Atau karena mereka melihatnya di tetevisi atau di sebuah majalah? Atau mereka mendengar berita dari tetangga mereka yang pernah membicarakan –mendiskusikan- tempat tersebut? Atau dengan sederhananya mereka pikir asal pergi saja? Ada berlimpah (plethora) kemungkinan. Motivasi melakuklan perjalanan sebenarnya lebih kompleks dari pada sekadar pernyataan di atas[4].

Definisi Menyeluruh (holistik)

Pendekatan secara menyeluruh, penyelidikan yang luas (broad-reaching) dalam terminologi, mengasimilasi ragam interpretasi ke dalam sebuah definisi umum untuk pertamakalinya telah dilakukan oleh Tourism Steering Group hingga Sratford-upon-Avon District Council di Inggris. Dalam laporannya tahun 1978, kelompok ini setuju dengan definisi yang mereka anggap universal, sebagai berikut;
“... day trippers from the cities of the Midlands, evening theatregoers from London, coach-tour passenger from all over the world hurtling through the country, conference delegates and longer-stay customers of the whole price range of serviced and unserviced accomodation . . . a visitor to the District for whatever reason he or she comes, for however long he or she may stay, and by whatever means he or she may come ...”
(Tourism Steering Group, 1978, quoted by Ryan 1991a)

Definisi ini berguna bagi mereka yang kali pertama (newcomer) mempelajari pariwisata. Deskripsinya cukup  detil dan skupnya tidak merujuk secara spesifik pada sisi bisnis pariwisata belaka. Kalim terhadap ke-universal-an definisi ini muncul karena dalam pernyataannya mencakup tujuan mengadakan perjalanan, durasi yang dimaksud,  batas harga, jenis dan tipe akomodasi, dan tipe pariwisata itu sendiri (pariwisata budaya, petualangan, day-tripping dan lain sebainya). Definisi ini mungkin dapat dikritisi dari sisi panjangnya penggunaan kalimat, tetapi ini merupakan justifikasi untuk melengkapi banyaknya segi sektor pariwisata.

Definisi Komunikasi/Pemasaran (Communications/Marketing)

Satu interpretasi akhir yang cukup relevan dalam konteks pendekatan komunikasi ini, ialah bagaimana penjelasan pariwisata sebagai sebuah fungsi pemasaran, atau lebih luas lagi sebagai pengalaman komunikasi. Dalam usahanya mencoba menyampaikan konsep pariwisata kepada multiple users (pelajar, profesional, akademisi, pengusaha, pemerintah dan media), suatu definisi pasar atau komunikasi mungkin merupakan jalan terbaik untuk memahami kepariwisataan sebagai sebuah maksud ataupun aksi (Nielsen, 2001:16). Sebagai contoh, kepariwisataan mungkin menjadi sebuah bentuk ekspresi diri (seperti seni, tulisan, orasi); atau suatu keinginan untuk melatih banyaknya kebebasan yang dinikmati individu dalam masyarakat modern (kebebasan berbelanja, kebebasan bergerak/berpindah, kebebasan menikmati pengalaman yang sama sekali berbeda dan baru, dll); dan untuk mengkomunikasikan keinginan masa kini atau masa mendatang dalam aktifitas komersial, seperti aesthetik, fisik, virtual, riil dan perjalanan emosional dan bahkan keputusan/penentuan berwisata itu sendiri.

Definisi ini sebagai batas dari definisi experiential dan psychological, dan tentunya menyentuh sisi bisnis/komersial dari kepariwisataan. Hal ini tidak melulu pada tataran kritis, tetapi malah mengenalkan beberapa elemen kepada suatu definisi pariwisata atas dasar kebebasan fundamental, dan dengan nilai dualisme dari physical/aesthetic, dan self/other-nya (yang masih bisa diperdebatkan), maka akan mampu mengkomunikasikan keinginan di hati wisatawan melalui pengalaman dan motivasi mereka, sehingga sampai pada pengambilan keputusan untuk melakukan perjalanan. Para ahli pemasaran pariwisata akan memahami hubungan kritis antara perilaku wisatawan/konsemen dan ekspresi keinginan bebas ini. Definisi seperti ini memperkenalkan konsep waktu (yang memawakili potensi pariwisata masa kini dan mendatang), dan konsep pariwisata nyata melawan yang virtual[5].


[1] Penulis yakin, buku Oka A Yoeti ini menjadi semacam “kitab suci” hampir seluruh mahasiswa pariwisata di Indonesia. Buku ini menjadi bacaan yang paling relevan dan membumi yang dikenalkan lembaga pendidikan pariwisata kepada mahasiswanya ketika pertama kalinya mereka menapaki bangku kuliah. Mahasiswa pariwisata di Indonesia, siapa yang tak kenal Oka A Yoeti?
[2] Mengenai durasi perjalanan bagi seorang wisatawan akan dijelaskan pada bagian pembahasan definisi wisatawan.
[3] Kebanyakan peneliti tidak menggunakan kata “alasan” melakukan perjalanan atau reason for traveling, melainkan “motivasi” melakukan perjalanan  atau motivation for traveling. Yoeti dan Pendit malah dengan sangat gentle menggunakan istilah motivasi perjalanan.
[4] Jabaran tentang motivasi perjalanan wisatawan dapat disimak pada buku Cristian Nilesen Chapter 3: Tourist Decision-Making, “Tourism and the Media”. 2001. Australia. Hospitality Press. Lebih gamblang lagi ulasan tentang psikologi dan motiviasi wisatawan dapat dirujuk buku Glenn F. Ross dalam The “Psychology of Tourism”. 1994. Melbourne. Hospitality Press. Simak juga buku-buku keluaran pengarang asal nusantara seperti Oka A Yoeti dan Nyoman S. Pendit.

[5] virtual tourism terjadi dengan simulasi komputer yang memberikan sensasi liburan maya menjadi suatu pengalaman yang oleh wisatawan kira sebagai pengalaman yang riil.

Mohammad Iqbal, SST.Par adalah sarjana pariwisata Universitas Udayana, Bali. Telah mengamati perkembangan pariwisata Bali dan Indonesia sejak tahun 1997, sebagai hotelier kini bekerja pada  bagian Komunikasi Pemasaran di The Media Hotel & Towers, Jakarta.