Saturday, January 19, 2013

Konsep Dasar Pariwisata dan Kepariwisataan


Oleh Mohammad Iqbal

Pariwisata dan Kepariwisataan

Apa itu pariwisata? Bila Anda mendengar kata wisata atau pariwisata, apa yang sebenarnya terbersit di benak Anda? Saya pernah ajukan pertanyaan sederhana ini kepada beberapa orang dari beragam latar belakang, dan jawabannya juga beragam, mulai dari berjemur di pantai, jalan-jalan, rekreasi, pemandu wisata, pergi ke tempat pemandian, keluar kota, danau toba, Bali, hotel, restoran, piknik, dan lain sebagainya.

Dulu, sebelum saya kuliah, kemudian bekerja dan berkecimpung di sektor pariwisata, saya juga memiliki pandangan serupa dengan berbagai jawaban di atas. Malah, setiap kali terdengar kata pariwisata, atau membaca frase “dharma wisata”, maka yang ada di benak saya adalah sebuah bus besar penuh berisi orang yang sedang berkunjung ke kebun binatang. Dalam benak saya, terlihat kaca belakang bus tersebut bertuliskan “Pariwisata” dengan ukuran besar.

Apakah jawaban-jawaban tersebut di atas salah? Tentu tidak, tetapi tidak pula sepenuhnya benar. Karena memang beragam jawaban di atas bersifat parsial, sepotong-potong, tidak komplit dan hanya mewakili sebagain kecil dari konsep pariwisata yang sebenarnya. Dengan jawaban tersebut diatas tentu membuat arti pariwisata cendrerung terlalu sederhana. Padahal, pariwisata sejatinya bersifat kompleks, multi sektor, multi bidang.

Lalu apa sebenarnya pariwisata itu? Perihal pemahaman tentang pariwisata dan kepariwisataan (tour & tourism), menarik menyinggung pemaparan Oka A. Yoeti dalam bukunya “Pengantar Pariwisata”[1]. Dari tinjauan etimologi-nya saja, Yoeti mampu menggambarkan secara rinci dan membuat sekat-sekat perbedaan yang terang antara apa itu wisata, wisatawan, pariwisata, pariwisatawan dan kepariwisataan. Sedangkan dalam memahamkan terminologi pariwisata, Yoeti merujuk beberapa definisi yang telah terbit dahulu. Nama-nama seperti Hermann V. Schulalard, E. Guyer Freuler, Hunziker, K. Krapf, dan Salah Wahab diperhitungkan Yoeti sebagai pertimbangan dasar dalam membatasi makna dan pengertian pariwisata. Selain nama-nama tersebut, Yoeti juga melakukan perbandingan definisi dengan menilik beberapa pengertian yang dikeluarkan oleh Hans Buchuli, Morgenroth, Hubert Gulden, R. Gllickmann dan bahkan definisi yang dipublikasikan pemerintah Indonesia lewat Ketetapan MPRS No. I-II tahun 1960.

Perbincangan awal pada tinjauan etimologi yang dikemukakan Yoeti mengkritisi adanya penggunaan istilah pariwisata yang kerap salah kaprah berlaku pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Yoeti mencontohkan bagaimana sebuah media (surat kabar dan travel agent) dengan tanpa rasa bersalah menyatakan bahwa perjalanan wisata ke Hongkong sama halnya dengan piknik ke Hongkong. Disini, Yoeti mencoba kritis terhadap pembedaan istilah perjalanan, piknik, rekreasi, berwisata dan pariwisata sekaligus mencoba menyusun klasifikasi stuktur label besar “pariwisata” yang di dalamnya terdapat banyak klasifikasi ragam istilah perjalanan.

Untuk memperkuat argumentasinya, Yoeti menitikberatkan uariannya pada pengunaan istilah-istilah yang terkandung dalam label pariwisata. Berikut dijelaskan perbedaan tersebut sebagaimana yang dipaparkannya (Yoeti, 1988:104), antara lain;

Wisata
adalah perjalanan, dalam bahasa inggris disamakan dengan travel

Wisatawan
ialah orang yang melakukan perjalanan yang jika dikaitkan dengan wisata sama dengan traveller

Para wisatawan
adalah bentuk jamak dari wisatawan yang dalam bahasa inggris sama halnya dengan travellers (s jamak)

Pariwisata
ialah perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dan dalam bahasa inggris disebut tour

Pariwisatawan
ialah orang yang melakukan pariwisata (tour) dan dalam bahasa inggris disebut tourist.

Para pariwisatawan
adalah bentuk jamak dari pariwisatawan yang dalam bahasa inggris disebut tourists (s jamak)

Ke-pariwisata-an
adalah hal-hal yang berkaitan dengan pariwisata dan dalam bahasa inggris disebut dengan istilah tourism (gabungan tour dan ism)

Melalui uraian yang Yoeti paparkan dari pemakaian istilah, tinjauan etimologi hingga kajian definisi para pakar, Yoeti berhasil merumuskan suatu batasan tersendiri. Menurutnya, pariwisata adalah;
“...suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan berusaha (bussines) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam”.
(Yoeti, 1988:109)

Selain keluarannya berupa definisi pariwisata, Bab IV buku Yoeti juga menggarisbawahi adanya faktor-faktor penting yang perlu dicermati dalam memahami pariwisata, antara lain:
        i.      perjalanan itu dilakukan untuk sementara waktu.
      ii.      perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat  ke tempat lainnya.
    iii.      perjalanan itu, walaupun bentuknya, harus selalu dikaitkan dengan pertamasyaan atau rekreasi.
    iv.      Orang  yang melakukan perjalanan tersebut tidak mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya dan semata-mata sebagai konsumen di tempat tersebut.

Setuju dengan Yoeti, saya sendiri beranggapan bila salah satu saja dari faktor-faktor tersebut tidak dipenuhi, maka tidak sah suatu perjalanan itu disebut pariwisata. Ini berarti batasan dari pariwisata haruslah tidak keluar dari kerangka empat faktor tersebut diatas. Bahwasanya dapat dikategorikan sebagai perjalanan wisata (pariwisata) bila perjalanan itu dilaksankan untuk sementara waktu (diatas 24 jam, di bawah 6 bulan)[2] ke suatu tujuan/tempat wisata dan untuk tujuan berwisata, bukan untuk mencari nafkah (job).

Definisi Pariwisata di Era Kontemporer


Disamping definisi keluaran Yoeti dan para pemikir pariwisata jaman 40an hingga 80an, perlu juga menilik definisi dari peneliti era kontemporer akhir 90an dan abad 21 ini. Mengenai hal ini, menarik menilik keluaran definisi dan pemikiran yang dikemukakan Christian Nielsen dalam memaparkan pengertian pariwisata. Menurut Nielsen (2001), dalam mendefinisikan kepariwisataan, banyak pendekatan yang bisa diambil oleh para peneliti pada tahun-tahun belakangan ini. Setidaknya ada enam pendekatan bisa digunakan, antara lain; pendekatan ekonomi, teknis, pengalaman, psikologis, menyeluruh dan komunikasi.

Definisi Ekonomi (economic)

Memandang kepariwisataan sebagai sebuah aktivitas ekonomi, sama dengan mengenalnya sebagai suatu industri pada umumnya. Dalam menyepakati gagasannya, Nielsen mengambil definisi yang ditawarkan Ryan, seorang ahli ekonomi asal Eropa.  Definisi Ryan sebagai berikut ;
“... a study of the demand for, and suply of accommodation and supportive services for those staying away from home, and the resultant patterns of expenditure, income creation and employment”.
(Ryan 1991a)

Definisi ini, menurut kritik Nielsen ternyata masih terlalu lunak (blend defininition). Perlu dicatat bahwa definisi ini tidak memasukkan referensi tentang bersenang-senang dan pelesir. Definisi ini meliputi kunci-kunci tertentu seperti demand & supply dan stay away from home.  Kelalaian mencantumkan kata kata seperti travel, trip, journey (atau bentuk lain perpindahan) merupakan kelemahan yang penting darinya– utamanya dalam mengangkat salah satu model dasar kepariwisataan yang diajukan Laws (1991), lihat bagan 2.1. Model ini membedakan antara rumah (home) dan beberapa tempat tujuan (destination), dan mengindikasikan usaha fisik yang terkandung dalam bergerak ke dan dari rumah.

Bagan 2.1
Model dasar pariwisata (the basic tourism model)



Definisi Teknis (technical)

Para perencana pariwisata (tourism planner) memiliki perbedaan interpretasi terhadap kepariwisataan, tergantung pada bagaimana kebutuhan individu dan orientasi  mereka. Hal ini sama artinya bahwa pendekatan mereka dalam mendefinisikan kepariwisataan akan merefleksikan pada atribut-atribut teknis yang lebih spesifik. Pariwisata dapat didefinisikan dari sisi salah satu alasan melakukan perjalanan[3] –baik itu alasan bersenag-senang, alasan keluarga atau bisnis. Sebagai contoh, American Express mengklaim bahwa:
“Travel and tourism is a vast complex network of bussines engaged in the lodging, transpostation, feeding and entertainment of traveller”.
American Express, quoted by Ryan 1991a.

Meskipun singkat, definisi ini cukup menyatakan secara jelas daerah umum operasi American Express, dan juga mewakili seluruh definisi pariwisata dari sisi bisnis. Menurut Nielsen, definisi ini agak terlalu meluas untuk memuaskan keinginan khusus dari beragam komponen (participants) pariwisata yang ada. Para ekonom mungkin meminta pengertian yang lebih jelas dan wisatawan mungkin tidak dihargai (ter-apresiasi) oleh pemikiran bahwa dirinya sebagai bagian dari “network of bussines”. Wisatawan tentunya lebih senang jika mereka hanya diperlakukan sebagai penikmat liburan. Nielsen mengkritik bahwa sisi bisnis seharusnya hanya digarisbawahi, bukan dikedepankan sebagai alasan teknis pendefinisian pariwisata.

Definisi Pengalaman (experiential)

Memahami bahwa setiap individu itu berbeda, maka pariwisata dapat didefinisikan untuk mengakomodasi dampak setiap pengalaman seseorang dalam melakukan perjalanan. Keinginan untuk memenuhi kepuasan sensual (sensual gratification) ini ialah komponen utama dalam mengisi liburan para turis, yang mana motivasi utamanya ialah beristirahat, bersenang-senang, petualangan, penemuan baru, dll. Definisi dengan pendekatan ini misalnya;
“... benefits that arise from experincing new places, and new situations that are of a temporary duration, whilst free from the constrains of work, or normal patterns of daily life at home”.
(Ryan, 1991a)

Definisi ini secara jelas menggarisbawahi kesepakatannya dalam memilih elemen escapism atau “melarikan diri” sebagai motivasi utama melakukan perjalanan wisata. Alasan melakukan perjalanan wisata untuk melarikan diri dari rutinitas kehidupan sehari-hari merupakan alasan yang cukup banyak dimiliki para wisatawan.  Pada definisi ini, rasa emosi dan pengembangan diri begitu inheren.

Definisi Psikologi (psyichological)

Manfaat ilmu psikologi bagi pariwisata tampak jelas seperti hubungannya dengan perjalanan liburan. Dengan ilmu psikologi dapat menentukan motivasi, kondisi ekonomi dan permintaan adanya perjalanan dari seorang calon wisatawan. Contoh sederhana dari definisi psikologi telah diberikan oleh Nielsen selama wawancaranya dengan seorang mantan manager Airport di New Zealand, di bawah ini;
“... (people go to) places they have always wanted to go. A great many Australian go to Europe -Italians, Greeks, Yugoslavs- not so much now ...”
(Interviews, Holt 1995)

Pernyataan di atas merupakan hasil kombinasi antara alasan pengalaman dan  psikologi, yang mungkin menekankan faktor impian masa kanak-kanak --keinginan, semenjak awal masa kanak-kanak  (ketika fantasi begitu mudah lari ke hal-hal yang lebih liar dan sama sekali baru) untuk melihat sesuatu. Meskipun mengesankan dalam kesederhanaannya, tapi definisi di atas gagal menangkap hakikat pariwisata (essense of tourism). Ia telah gagal menjelaskan mengapa mereka selalu ingin pergi keluar ke tempat yang  sama. Hal ini karena orang tua mereka berasal dari tempat yang sama? Atau karena mereka melihatnya di tetevisi atau di sebuah majalah? Atau mereka mendengar berita dari tetangga mereka yang pernah membicarakan –mendiskusikan- tempat tersebut? Atau dengan sederhananya mereka pikir asal pergi saja? Ada berlimpah (plethora) kemungkinan. Motivasi melakuklan perjalanan sebenarnya lebih kompleks dari pada sekadar pernyataan di atas[4].

Definisi Menyeluruh (holistik)

Pendekatan secara menyeluruh, penyelidikan yang luas (broad-reaching) dalam terminologi, mengasimilasi ragam interpretasi ke dalam sebuah definisi umum untuk pertamakalinya telah dilakukan oleh Tourism Steering Group hingga Sratford-upon-Avon District Council di Inggris. Dalam laporannya tahun 1978, kelompok ini setuju dengan definisi yang mereka anggap universal, sebagai berikut;
“... day trippers from the cities of the Midlands, evening theatregoers from London, coach-tour passenger from all over the world hurtling through the country, conference delegates and longer-stay customers of the whole price range of serviced and unserviced accomodation . . . a visitor to the District for whatever reason he or she comes, for however long he or she may stay, and by whatever means he or she may come ...”
(Tourism Steering Group, 1978, quoted by Ryan 1991a)

Definisi ini berguna bagi mereka yang kali pertama (newcomer) mempelajari pariwisata. Deskripsinya cukup  detil dan skupnya tidak merujuk secara spesifik pada sisi bisnis pariwisata belaka. Kalim terhadap ke-universal-an definisi ini muncul karena dalam pernyataannya mencakup tujuan mengadakan perjalanan, durasi yang dimaksud,  batas harga, jenis dan tipe akomodasi, dan tipe pariwisata itu sendiri (pariwisata budaya, petualangan, day-tripping dan lain sebainya). Definisi ini mungkin dapat dikritisi dari sisi panjangnya penggunaan kalimat, tetapi ini merupakan justifikasi untuk melengkapi banyaknya segi sektor pariwisata.

Definisi Komunikasi/Pemasaran (Communications/Marketing)

Satu interpretasi akhir yang cukup relevan dalam konteks pendekatan komunikasi ini, ialah bagaimana penjelasan pariwisata sebagai sebuah fungsi pemasaran, atau lebih luas lagi sebagai pengalaman komunikasi. Dalam usahanya mencoba menyampaikan konsep pariwisata kepada multiple users (pelajar, profesional, akademisi, pengusaha, pemerintah dan media), suatu definisi pasar atau komunikasi mungkin merupakan jalan terbaik untuk memahami kepariwisataan sebagai sebuah maksud ataupun aksi (Nielsen, 2001:16). Sebagai contoh, kepariwisataan mungkin menjadi sebuah bentuk ekspresi diri (seperti seni, tulisan, orasi); atau suatu keinginan untuk melatih banyaknya kebebasan yang dinikmati individu dalam masyarakat modern (kebebasan berbelanja, kebebasan bergerak/berpindah, kebebasan menikmati pengalaman yang sama sekali berbeda dan baru, dll); dan untuk mengkomunikasikan keinginan masa kini atau masa mendatang dalam aktifitas komersial, seperti aesthetik, fisik, virtual, riil dan perjalanan emosional dan bahkan keputusan/penentuan berwisata itu sendiri.

Definisi ini sebagai batas dari definisi experiential dan psychological, dan tentunya menyentuh sisi bisnis/komersial dari kepariwisataan. Hal ini tidak melulu pada tataran kritis, tetapi malah mengenalkan beberapa elemen kepada suatu definisi pariwisata atas dasar kebebasan fundamental, dan dengan nilai dualisme dari physical/aesthetic, dan self/other-nya (yang masih bisa diperdebatkan), maka akan mampu mengkomunikasikan keinginan di hati wisatawan melalui pengalaman dan motivasi mereka, sehingga sampai pada pengambilan keputusan untuk melakukan perjalanan. Para ahli pemasaran pariwisata akan memahami hubungan kritis antara perilaku wisatawan/konsemen dan ekspresi keinginan bebas ini. Definisi seperti ini memperkenalkan konsep waktu (yang memawakili potensi pariwisata masa kini dan mendatang), dan konsep pariwisata nyata melawan yang virtual[5].


[1] Penulis yakin, buku Oka A Yoeti ini menjadi semacam “kitab suci” hampir seluruh mahasiswa pariwisata di Indonesia. Buku ini menjadi bacaan yang paling relevan dan membumi yang dikenalkan lembaga pendidikan pariwisata kepada mahasiswanya ketika pertama kalinya mereka menapaki bangku kuliah. Mahasiswa pariwisata di Indonesia, siapa yang tak kenal Oka A Yoeti?
[2] Mengenai durasi perjalanan bagi seorang wisatawan akan dijelaskan pada bagian pembahasan definisi wisatawan.
[3] Kebanyakan peneliti tidak menggunakan kata “alasan” melakukan perjalanan atau reason for traveling, melainkan “motivasi” melakukan perjalanan  atau motivation for traveling. Yoeti dan Pendit malah dengan sangat gentle menggunakan istilah motivasi perjalanan.
[4] Jabaran tentang motivasi perjalanan wisatawan dapat disimak pada buku Cristian Nilesen Chapter 3: Tourist Decision-Making, “Tourism and the Media”. 2001. Australia. Hospitality Press. Lebih gamblang lagi ulasan tentang psikologi dan motiviasi wisatawan dapat dirujuk buku Glenn F. Ross dalam The “Psychology of Tourism”. 1994. Melbourne. Hospitality Press. Simak juga buku-buku keluaran pengarang asal nusantara seperti Oka A Yoeti dan Nyoman S. Pendit.

[5] virtual tourism terjadi dengan simulasi komputer yang memberikan sensasi liburan maya menjadi suatu pengalaman yang oleh wisatawan kira sebagai pengalaman yang riil.

Mohammad Iqbal, SST.Par adalah sarjana pariwisata Universitas Udayana, Bali. Telah mengamati perkembangan pariwisata Bali dan Indonesia sejak tahun 1997, sebagai hotelier kini bekerja pada  bagian Komunikasi Pemasaran di The Media Hotel & Towers, Jakarta.