Thursday, March 15, 2012

Kembangkan Pariwisata Semarang, Benahi Bandara Terlebih Dahulu

Ketika saya menghadiri acara bertajuk "Dialog Gubernur dengan BUMN, BUMD dan SWASTA tentang Visit Jateng 2013 beberapa waktu lalu, ada banyak hal menarik yang menyita perhatian saya, salah satunya yang paling penting menurut saya adalah keinginan dan rencana pemerintah dalam membangun bandar udara yang layak.
Pada acara tersebut, Gubernur Bibit dengan gaya nyentrik-nya memaparkan persiapan pemerintah dalam menyongsong wisatawan ke Jawa Tengah melalui program sekaligus kampanye pariwisata "Visit Jateng 2013". Salah satu persiapannya adalah membenahi Bandara A. Yani. Gerbang jalur udaya Jateng itu musti diperbesar, diperbaiki alias direnovasi total.

Tak hanya itu, pemerintah daerah Jateng nampakya sudah melek pariwisata dengan membuat berbagai program adhoc dan event reguler mulai dari entertainment, sport, kuliner, festival, kesenian, budaya, konferensi internasional, dll.

Balik ke persoalan Bandara.
Memang, saat ini kondisi Bandara A. Yani di Ibu Kota Semarang sangatlah jauh dari kreteria suatu bandara yang ideal. Bila ingin menggarap pariwisata dan menggerakkan sektor ekonomi, investasi dan perdagangan, maka airport yang memadai harus dimiliki terlebih dahulu oleh Semarang.

Menurut saya, progres dari pemerintah untuk membenahi infrastruktur pariwisata sudah ada dan itu baik. Dalam hal ini telihat pada keseriusan pemerintah untuk membangun Airport yang berstandar Internasional.

Yang perlu ditekankan adalah bahwa bandara itu nanti harus bertaraf internasional, baik dari segi fisik/hardware, software dan brainware nya.

Bandara Semarang harus menerapkan open sky policy. Dan pembenahan harus juga meliputi SDM (sumber daya manusia) semua petugas, terutama bea cukai, imigrasi, swasta (travel, retail, ground handling, cargo, taxi, transport,etc) dan tentunya SDM PT PAP (angkasa pura) itu sendiri.

Karena apa yg terjadi di Bandara Internasional Ngurah Rai adalah banyaknya petugas Imigrasi dan Custom bermental pungli. Waktu dulu saya bekerja di Bali Tourism Board sebagai PR (Public Relations), pernah kami datangkan NatGeo Channel untuk shooting film di Bali, tapi malah dipalak dan dipungli oleh petugas bea cukai di Bandara. Tidak tanggung-tanggung, mereka meminta ratusan juta dengan dalih mengikuti aturan kepabean. Tapi sebenarnya tidak ada aturan seperti itu.

Menurut para oknum bea cukai tersebut, setiap peralatan shooting dianggap sebagai barang impor yang masuk Indonesia dan harus membayar beacukai atau pajak impor. Nah, peralatan shooting NatGeo sangat banyak dan termasuk barang berharga sehingga pajaknya tinggi. Masih menurut mereka, kalau tidak bersedia bayar pajak impor tersebut, bisa saja peralatan tertsebut masuk ke Indonesia asal kami membayar uang tanggungan yang jumlahnya ratusan juta. Ketika tim NatGeo akan keluar Indonesia dengan barang-barang tersebut melalui bandara, maka uang tanggungan tadi bakal dikembalikan. Tentunya, tim NatGeo tidak membawa uang yang jumlahnya ratusan juta dalam bentuk cash, maka opsi ini tidak bisa ditempuh.

Akan tetapi, meski sudah mengantongi ijin dari Menteri Pariwisata dan surat keterangan dari Bali Tourism Board, tetap saja mereka kekeuh tidak memperbolehkan peralatan shooting itu masuk. Di ujung "diskusi" mereka pada akhirnya mau saja "tutup mata" asal ada "ongkos lewat" ke kantong mereka.

Kejadian ini jelas memperlihatkan bahwa penyelenggara pemerintahan kita tidak paham apa manfaat shooting film keindahan alam n budaya kita, bagi promosi pariwisata dan investasi. Yang dipikiran mereka adalah mencari recehan buat mengisi kantong pribadi mereka. Sungguh ironi.

Hal lain adalah tentang visa policy. Kebijakan bebas visa harus ditambahkan bagi negara-negara potensial yg datang untuk tujuan wisata ke negeri kita, seperti Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Kalau toh tidak bisa sepanjang tahun, buatlah bebas visa untuk periode tertentu, misalnya saat low season. Travel agent juga pasti akan membuat semacam "Paket Bebas Visa".

Proses Visa on arrival juga harus cepat, singkat, menyenangkan dan senyum lebar.

Para turis itu datang membawa uang dan memperkuat devisa negara kita. Jadi jangan dipelototi seperti kriminal. Petugas harus tetap ramah dan welcoming. Mereka harus dilatih berbahasa Inggris dengan baik sesuai standar dan harus diedukasi serta diberi knowledge tentang manfaat turisme bagi perekonomian bangsa. Bila perlu, petugas imigrasi yang nyetempel passport itu berguru ke bagian Front Office suatu hotel bintang lima untuk memperoleh pelatihan tentang pelayanan dan keramahtamahan.

PT. PAP juga harus meningkatkan standar pelayanan dan mutu. Bandara harus terang benerang seperti Changi dan Hongkong. Tidak suram, redup dan remang-remang seperti Bandara Ngurah Rai dan Soekarno Hatta. Harus bersih seperti Dubai dan Abudhabi. Aman dan nyaman. Taxi harus rapi dan tertib. Perusahaan Travel harus teratur dan tidak murahan. Vendor atau toko-toko harus representatif dan bersih, tidak norak. Informasi harus lengkap. Penunjuk arah harus tepat dan jelas serta tersedia dimana-mana. Perusahaan advertising juga jangan terlalu norak dengan cara setiap pojok dipasang banner dan dibandrol "space for ads" sehingga tampak kampungan dan semrawut.

Semua diatas mestinya bisa dicapai bila ada niat yang baik, pemimpin yang visioner, konsisten dan adil, rencana yang matang dan komprehensif, anggaran yang proporsional dan tidak dikorupsi, kerja keras dan pelaksanaan yang benar, dukungan dan kerjasama lintas sektoral. Semoga..!