Oleh: Mohammad Iqbal
Tiap tahunnya, di penghujung bulan Ramadan, masyarakat Indonesia menjalani tradisi bernama Mudik. Bagi sebagian besar masyarakat kita, mudik lebih dari sekadar trend. Mudik bahkan menjadi suatu keharusan dan telah membudaya sejak dulu. Saking pentingnya mudik, apapun bisa dilakukan demi mewujudkannya.
Dari tahun ke tahun, jumlah pemudik mengalami peningkatan tajam. Tahun ini misalnya, menurut Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah pemudik dari wilayah Jabodetabek saja diprediksi naik menjadi sekitar 8 juta orang. Bahkan harian Seputar Indonesia (SINDO) mencatat jumlah pemudik tahun ini mencapai 15,4 juta orang. Saking massive-nya pergerakan manusia melakukan mudik, dan begitu kompleksnya fenomena mudik, patutlah kita menyebutnya sebagai industri mudik. Mirip seperti industri pariwisata, fenomena mudik menjadi suatu megaindustri bila terdapat berbagai usaha (barang dan jasa) yang melayani kebutuhan orang melakukan mudik, sejak saat berangkat dari tempat tinggalnya, selama dalam perjalanan menuju tempat tujuan mudik, hingga ia kembali lagi (arus balik).
Lalu muncul pertanyaan, apakah mudik merupakan perjalanan wisata, dan karenanya mudik bisa disebut sebagai bagian dari industri kepariwisataan? Tulisan ini mencoba menelaah dari sudut pandang keilmuan pariwisata, dimana dibahas berbagai syarat dan kriteria apakah suatu perjalanan itu bisa dianggap sebagai perjalanan wisata, dan apakah mudik memiliki sifat serta karakteristik yang sama dengan perjalanan wisata.
Mari kita mulai dari definisi perjalanan wisata keluaran World Tourism Organisation (WTO) yang telah diterima secara universal. Perjalanan wisata, adalah suatu perjalanan sementara yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dari suatu daerah yang biasanya ia/mereka tempati menuju ke suatu daerah lain, dimana ia berada di tempat tujuan tersebut sekurang-kurang 24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan, untuk keperluan bersenang-senang, hubungan dagang, bisnis, keluarga, konferensi dan non-imigrasi.
Mengacu dari pengertian diatas, mari kita kaji apakah mudik merupakan perjalanan wisata. Pertama, perjalanan wisata dilakukan oleh seorang diri atau berkelompok. Untuk mudik, banyak orang melakukannya sendirian alias perjalanan solo, tetapi juga banyak yang pulang kampung secara rombongan. Bahkan, beberapa tahun terakhir terdapat trend di berbagai perusahaan besar yang mengatur dan mengsponsori perjalanan ”mudik bersama” secara gratis.
Kedua, perjalanan wisata bersifat sementara waktu. Mudik jelas dilakukan dalam waktu yang relatif sementara. Tidak mungkin ada orang selalu mudik terus-menerus sepanjang tahun. Jika ada orang mudik secara kontinyu sepanjang tahun atau lebih ke berbagai tempat, tentunya ia sedang berpetualang (
adventure). Ketiga, perjalanan itu dilakukan dari suatu tempat asal, dimana ia biasanya menetap dan mencari nafkah, menuju ke suatu daerah lainnya, yang sama sekali berbeda dari sisi geografis. Demikian juga dengan mudik, yang dilakukan seseorang dari tempat dimana ia biasanya bekerja dan berdomisili, menuju kampung halaman yang sudah lama ia tinggalkan.
Keempat, orang yang melakukan perjalanan wisata harus berada di tempat tujuan wisata sekurang-kurangnya 24 jam dan tidak lebih dari enam bulan, dan ia harus kembali lagi ke daerah asalnya (dimana ia biasanya berdomisili). Pemudik juga demikian. Apakah ada pemudik yang cuma singgah beberapa jam lalu cepat-cepat kembali ke kota? Bila ada, tentu ia bukan pemudik, tapi cuma berkunjung alias mampir (
execursion). Sebaliknya, apakah ada pemudik yang berlibur di kampung halaman hingga berbulan-bulan? Kalaupun ada, ia bukanlah pemudik, melainkan orang yang pulang kampung selamanya, dan tidak kembali lagi.
Kelima, motivasi atau tujuan perjalanan wisata adalah utamanya untuk plesir (bersenang-senang), berlibur, mengunjungi keluarga, berdagang, berbisnis, konferensi, dan atau tujuan non-imigrasi. Bagaimana dengan mudik? Apa sebenarnya tujuan mudik? Mengapa orang mau melakukan apapun agar bisa mudik? Ternyata, mayoritas pemudik ingin berlibur sambil mengunjungi keluarga, teman, sanak dan famili. Selain itu, di tempat tujuan mudik (
destination), mereka juga bisa bersantai, rileks, bersenang-senang, dan melarikan diri dari kepenatan hidup di kota (
escape factor). Perlu dicatat, mudik tidak menjadi mudik bila ada unsur menetap dan atau mencari nafkah di tempat tujuan mudik. Di tempat tujuan mudik, pemudik tidak memperoleh uang, tapi justru keluar banyak uang untuk belanja dan sebagainya (
something to see, do and buy).
Terakhir, proses perjalanan wisata semestinya nyaman dan menyenangkan. Tanpa memandang jenis moda transportasi, seorang wisatawan semestinnya menikmati perjalanannya. Bila tidak, buat apa ia berwisata? Nah, apakah para pemudik umumnya menikmati kenyamanan sepanjang perjalanan mudik mereka? Tunggu dulu, dengan melihat fakta di lapangan, kriteria terakhir ini nampaknya belum bisa terpenuhi. Terlebih bagi mereka yang menggunakan moda transportasi umum.
Dengan lonjakan pengguna kendaraan pribadi hingga mencapai 18 persen dari tahun lalu, dibanding dengan pengguna angkutan umum yang peningkatannya cuma 2 persen, menunjukkan bahwa sistem transportasi umum kita jauh dibawah standar kenyamanan berwisata. Nyaman berarti ditinjau dari berbagai aspek, yakni keselamatan, keamanan, kebersihan, aksesibilitas, ketepatan waktu, kemudahaan, dan harga yang terjangkau. Serombongan keluarga tidak akan pernah mau susah payah mengendarai mobil pribadi mereka 24 jam non-stop dengan segenap resiko seperti kemacetan, kriminalitas dan kecelakaan lalu lintas, bila mereka bisa menumpangi angkutan umum yang nyaman, cepat, mudah dan murah, tanpa harus tercekik dengan harga tuslah.
Menikmati pariwisata sejatinya adalah hak asasi setiap manusia, tanpa memandang kelas sosial dan tingkat ekonomi. Begitu pula dengan mudik, seharusnya dapat dinikmati oleh siapapun. Namun kenyataan yang terjadi, masyarakat kecil penumpang kereta ekonomi cenderung menderita selama perjalanan mudik. Selain kerasnya perjuangan memperoleh tiket dengan mengantre berjam-jam, mereka juga harus berperang sesamanya, berhimpitan, berdesakan guna memperoleh tempat duduk yang kondisinya cenderung tidak manusiawi.
Kenyamanan perjalanan wisata mudik semakin terganggu dengan kondisi infrastruktur yang tidak memadai. Misalnya, ruas jalan yang cenderung menyempit, kerusakan jalan, minimnya informasi dan rambu-rambu lalu lintas, penerangan jalan yang tidak optimal dan lain sebagainya. Itu semua membuat pemudik lebih memilih kendaraan pribadi. Akibatnya, antrean kemacetan panjang akibat tingginya jumlah kendaraan, selalu terjadi tiap tahun di hampir seluruh daerah jalur mudik dan pelabuah. Parahnya lagi, hal ini dianggap sesuatu yang wajar dan bisa dimaklumi.
Lantas, apa upaya pemerintah agar rakyat dan bangsa ini bisa menikmati mudik sebagai perjalanan wisata yang nyaman? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang di sepanjang jalur mudik.
Penulis adalah praktisi pariwisata yang tahun ini tidak mampu menjadikan mudik sebagai perjalanan wisata.