Oleh Mohammad Iqbal
Pariwisata dan
Kepariwisataan
Apa itu pariwisata? Bila Anda mendengar kata wisata atau pariwisata, apa
yang sebenarnya terbersit di benak Anda? Saya pernah ajukan pertanyaan sederhana
ini kepada beberapa orang dari beragam latar belakang, dan jawabannya juga beragam,
mulai dari berjemur di pantai, jalan-jalan, rekreasi, pemandu wisata, pergi ke
tempat pemandian, keluar kota, danau toba, Bali, hotel, restoran, piknik, dan lain
sebagainya.
Dulu, sebelum saya kuliah, kemudian bekerja dan berkecimpung di sektor
pariwisata, saya juga memiliki pandangan serupa dengan berbagai jawaban di
atas. Malah, setiap kali terdengar kata pariwisata, atau membaca frase “dharma
wisata”, maka yang ada di benak saya adalah sebuah bus besar penuh berisi orang
yang sedang berkunjung ke kebun binatang. Dalam benak saya, terlihat kaca
belakang bus tersebut bertuliskan “Pariwisata” dengan ukuran besar.
Apakah jawaban-jawaban tersebut di atas salah? Tentu tidak, tetapi tidak pula
sepenuhnya benar. Karena memang beragam jawaban di atas bersifat parsial, sepotong-potong, tidak
komplit dan hanya mewakili sebagain kecil dari konsep pariwisata yang sebenarnya.
Dengan jawaban tersebut diatas tentu membuat arti pariwisata cendrerung terlalu
sederhana. Padahal, pariwisata sejatinya bersifat kompleks, multi sektor, multi
bidang.
Lalu apa sebenarnya pariwisata itu? Perihal pemahaman tentang pariwisata
dan kepariwisataan (tour & tourism),
menarik menyinggung pemaparan Oka A. Yoeti dalam bukunya “Pengantar Pariwisata”.
Dari tinjauan etimologi-nya saja, Yoeti mampu menggambarkan secara rinci dan
membuat sekat-sekat perbedaan yang terang antara apa itu wisata, wisatawan,
pariwisata, pariwisatawan dan kepariwisataan. Sedangkan dalam memahamkan
terminologi pariwisata, Yoeti merujuk beberapa definisi yang telah terbit
dahulu. Nama-nama seperti Hermann V. Schulalard, E. Guyer Freuler, Hunziker, K.
Krapf, dan Salah Wahab diperhitungkan Yoeti sebagai pertimbangan dasar dalam membatasi
makna dan pengertian pariwisata. Selain nama-nama tersebut, Yoeti juga
melakukan perbandingan definisi dengan menilik beberapa pengertian yang
dikeluarkan oleh Hans Buchuli, Morgenroth, Hubert Gulden, R. Gllickmann dan
bahkan definisi yang dipublikasikan pemerintah Indonesia lewat Ketetapan MPRS
No. I-II tahun 1960.
Perbincangan awal pada tinjauan etimologi yang dikemukakan Yoeti
mengkritisi adanya penggunaan istilah pariwisata yang kerap salah kaprah
berlaku pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Yoeti mencontohkan bagaimana
sebuah media (surat kabar dan travel agent) dengan tanpa rasa bersalah
menyatakan bahwa perjalanan wisata ke Hongkong sama halnya dengan piknik ke Hongkong.
Disini, Yoeti mencoba kritis terhadap pembedaan istilah perjalanan, piknik,
rekreasi, berwisata dan pariwisata sekaligus mencoba menyusun klasifikasi
stuktur label besar “pariwisata” yang di dalamnya terdapat banyak klasifikasi
ragam istilah perjalanan.
Untuk memperkuat argumentasinya, Yoeti menitikberatkan uariannya pada pengunaan
istilah-istilah yang terkandung dalam label pariwisata. Berikut dijelaskan
perbedaan tersebut sebagaimana yang dipaparkannya (Yoeti, 1988:104), antara
lain;
Wisata
adalah
perjalanan, dalam bahasa inggris disamakan dengan travel
Wisatawan
ialah
orang yang melakukan perjalanan yang jika dikaitkan dengan wisata sama dengan traveller
Para
wisatawan
adalah bentuk jamak dari wisatawan
yang dalam bahasa inggris sama halnya dengan travellers (s jamak)
Pariwisata
ialah
perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dan dalam bahasa
inggris disebut tour
Pariwisatawan
ialah
orang yang melakukan pariwisata (tour) dan dalam bahasa inggris disebut tourist.
Para
pariwisatawan
adalah bentuk jamak dari pariwisatawan
yang dalam bahasa inggris disebut tourists (s jamak)
Ke-pariwisata-an
adalah
hal-hal yang berkaitan dengan pariwisata dan dalam bahasa inggris disebut
dengan istilah tourism (gabungan tour dan ism)
Melalui uraian yang Yoeti paparkan dari pemakaian istilah, tinjauan
etimologi hingga kajian definisi para pakar, Yoeti berhasil merumuskan suatu
batasan tersendiri. Menurutnya, pariwisata adalah;
“...suatu
perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari
suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan berusaha (bussines) atau mencari nafkah di
tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut
guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka
ragam”.
(Yoeti, 1988:109)
Selain keluarannya berupa definisi pariwisata, Bab IV buku Yoeti juga
menggarisbawahi adanya faktor-faktor penting yang perlu dicermati dalam
memahami pariwisata, antara lain:
i.
perjalanan
itu dilakukan untuk sementara waktu.
ii. perjalanan itu dilakukan dari suatu
tempat ke tempat lainnya.
iii. perjalanan itu, walaupun bentuknya, harus
selalu dikaitkan dengan pertamasyaan atau rekreasi.
iv. Orang
yang melakukan perjalanan tersebut tidak mencari nafkah di tempat yang
dikunjunginya dan semata-mata sebagai konsumen di tempat tersebut.
Setuju dengan Yoeti, saya sendiri beranggapan bila salah satu saja dari
faktor-faktor tersebut tidak dipenuhi, maka tidak sah suatu perjalanan itu
disebut pariwisata. Ini berarti batasan dari pariwisata haruslah tidak keluar
dari kerangka empat faktor tersebut diatas. Bahwasanya dapat dikategorikan
sebagai perjalanan wisata (pariwisata) bila perjalanan itu dilaksankan untuk
sementara waktu (diatas 24 jam, di bawah 6 bulan)
ke suatu tujuan/tempat wisata dan untuk tujuan berwisata, bukan untuk mencari
nafkah (job).
Definisi Pariwisata di Era
Kontemporer
Disamping definisi keluaran Yoeti dan para pemikir pariwisata jaman 40an
hingga 80an, perlu juga menilik definisi dari peneliti era kontemporer akhir
90an dan abad 21 ini. Mengenai hal ini, menarik menilik keluaran definisi dan
pemikiran yang dikemukakan Christian Nielsen dalam memaparkan pengertian
pariwisata. Menurut Nielsen (2001), dalam mendefinisikan kepariwisataan, banyak
pendekatan yang bisa diambil oleh para peneliti pada tahun-tahun belakangan
ini. Setidaknya ada enam pendekatan bisa digunakan, antara lain; pendekatan
ekonomi, teknis, pengalaman, psikologis, menyeluruh dan komunikasi.
Definisi Ekonomi (economic)
Memandang kepariwisataan sebagai sebuah aktivitas ekonomi, sama dengan
mengenalnya sebagai suatu industri pada umumnya. Dalam menyepakati gagasannya,
Nielsen mengambil definisi yang ditawarkan Ryan, seorang ahli ekonomi asal
Eropa. Definisi Ryan sebagai berikut ;
“...
a study of the demand for, and suply of accommodation and supportive services
for those staying away from home, and the resultant patterns of expenditure,
income creation and employment”.
(Ryan 1991a)
Definisi ini, menurut kritik Nielsen ternyata masih terlalu lunak (blend
defininition). Perlu dicatat bahwa definisi ini tidak memasukkan referensi
tentang bersenang-senang dan pelesir. Definisi ini meliputi kunci-kunci
tertentu seperti demand & supply dan stay away from home. Kelalaian mencantumkan kata kata seperti travel,
trip, journey (atau bentuk lain perpindahan) merupakan kelemahan
yang penting darinya– utamanya dalam mengangkat salah satu model dasar
kepariwisataan yang diajukan Laws (1991), lihat bagan 2.1. Model ini membedakan
antara rumah (home) dan beberapa tempat tujuan (destination), dan
mengindikasikan usaha fisik yang terkandung dalam bergerak ke dan dari rumah.
Bagan 2.1
Model dasar pariwisata (the basic tourism model)
Definisi Teknis (technical)
Para perencana pariwisata (tourism planner) memiliki perbedaan
interpretasi terhadap kepariwisataan, tergantung pada bagaimana kebutuhan
individu dan orientasi mereka. Hal ini
sama artinya bahwa pendekatan mereka dalam mendefinisikan kepariwisataan akan
merefleksikan pada atribut-atribut teknis yang lebih spesifik. Pariwisata dapat
didefinisikan dari sisi salah satu alasan melakukan perjalanan
–baik itu alasan bersenag-senang, alasan keluarga atau bisnis. Sebagai contoh,
American Express mengklaim bahwa:
“Travel and
tourism is a vast complex network of bussines engaged in the lodging,
transpostation, feeding and entertainment of traveller”.
American
Express, quoted by Ryan 1991a.
Meskipun singkat, definisi ini cukup menyatakan secara jelas daerah umum
operasi American Express, dan juga mewakili seluruh definisi pariwisata dari
sisi bisnis. Menurut Nielsen, definisi ini agak terlalu meluas untuk memuaskan
keinginan khusus dari beragam komponen (participants) pariwisata yang
ada. Para ekonom mungkin meminta pengertian yang lebih jelas dan wisatawan
mungkin tidak dihargai (ter-apresiasi) oleh pemikiran bahwa dirinya
sebagai bagian dari “network of bussines”. Wisatawan tentunya lebih senang jika
mereka hanya diperlakukan sebagai penikmat liburan. Nielsen mengkritik bahwa
sisi bisnis seharusnya hanya digarisbawahi, bukan dikedepankan sebagai alasan
teknis pendefinisian pariwisata.
Definisi Pengalaman (experiential)
Memahami bahwa setiap individu itu berbeda, maka pariwisata dapat
didefinisikan untuk mengakomodasi dampak setiap pengalaman seseorang dalam
melakukan perjalanan. Keinginan untuk memenuhi kepuasan sensual (sensual
gratification) ini ialah komponen utama dalam mengisi liburan para turis,
yang mana motivasi utamanya ialah beristirahat, bersenang-senang, petualangan,
penemuan baru, dll. Definisi dengan pendekatan ini misalnya;
“...
benefits that arise from experincing new places, and new situations that are of
a temporary duration, whilst free from the constrains of work, or normal
patterns of daily life at home”.
(Ryan, 1991a)
Definisi ini secara jelas menggarisbawahi kesepakatannya dalam memilih
elemen escapism atau “melarikan diri” sebagai motivasi utama melakukan
perjalanan wisata. Alasan melakukan perjalanan wisata untuk melarikan diri dari
rutinitas kehidupan sehari-hari merupakan alasan yang cukup banyak dimiliki
para wisatawan. Pada definisi ini, rasa
emosi dan pengembangan diri begitu inheren.
Definisi Psikologi (psyichological)
Manfaat ilmu psikologi bagi pariwisata tampak jelas seperti hubungannya
dengan perjalanan liburan. Dengan ilmu psikologi dapat menentukan motivasi,
kondisi ekonomi dan permintaan adanya perjalanan dari seorang calon wisatawan.
Contoh sederhana dari definisi psikologi telah diberikan oleh Nielsen selama
wawancaranya dengan seorang mantan manager Airport di New Zealand, di bawah
ini;
“...
(people go to) places they have always wanted to go. A great many Australian go
to Europe -Italians, Greeks, Yugoslavs- not so much now ...”
(Interviews,
Holt 1995)
Pernyataan di atas merupakan hasil kombinasi antara alasan pengalaman
dan psikologi, yang mungkin menekankan
faktor impian masa kanak-kanak --keinginan, semenjak awal masa kanak-kanak (ketika fantasi begitu mudah lari ke hal-hal
yang lebih liar dan sama sekali baru) untuk melihat sesuatu. Meskipun
mengesankan dalam kesederhanaannya, tapi definisi di atas gagal menangkap
hakikat pariwisata (essense of tourism). Ia telah gagal menjelaskan
mengapa mereka selalu ingin pergi keluar ke tempat yang sama. Hal ini karena orang tua mereka berasal
dari tempat yang sama? Atau karena mereka melihatnya di tetevisi atau di sebuah
majalah? Atau mereka mendengar berita dari tetangga mereka yang pernah
membicarakan –mendiskusikan- tempat tersebut? Atau dengan sederhananya mereka
pikir asal pergi saja? Ada berlimpah (plethora) kemungkinan. Motivasi
melakuklan perjalanan sebenarnya lebih kompleks dari pada sekadar pernyataan di
atas.
Definisi Menyeluruh (holistik)
Pendekatan secara menyeluruh, penyelidikan yang luas (broad-reaching)
dalam terminologi, mengasimilasi ragam interpretasi ke dalam sebuah definisi
umum untuk pertamakalinya telah dilakukan oleh Tourism Steering Group
hingga Sratford-upon-Avon District Council di Inggris. Dalam laporannya
tahun 1978, kelompok ini setuju dengan definisi yang mereka anggap universal,
sebagai berikut;
“... day
trippers from the cities of the Midlands, evening theatregoers from London,
coach-tour passenger from all over the world hurtling through the country,
conference delegates and longer-stay customers of the whole price range of
serviced and unserviced accomodation . . . a visitor to the District for
whatever reason he or she comes, for however long he or she may stay, and by
whatever means he or she may come ...”
(Tourism Steering Group, 1978, quoted by
Ryan 1991a)
Definisi ini berguna bagi mereka yang kali pertama (newcomer)
mempelajari pariwisata. Deskripsinya cukup
detil dan skupnya tidak merujuk secara spesifik pada sisi bisnis
pariwisata belaka. Kalim terhadap ke-universal-an definisi ini muncul karena
dalam pernyataannya mencakup tujuan mengadakan perjalanan, durasi yang
dimaksud, batas harga, jenis dan tipe
akomodasi, dan tipe pariwisata itu sendiri (pariwisata budaya, petualangan,
day-tripping dan lain sebainya). Definisi ini mungkin dapat dikritisi dari sisi
panjangnya penggunaan kalimat, tetapi ini merupakan justifikasi untuk
melengkapi banyaknya segi sektor pariwisata.
Definisi Komunikasi/Pemasaran (Communications/Marketing)
Satu interpretasi akhir yang cukup relevan dalam konteks pendekatan
komunikasi ini, ialah bagaimana penjelasan pariwisata sebagai sebuah fungsi
pemasaran, atau lebih luas lagi sebagai pengalaman komunikasi. Dalam usahanya
mencoba menyampaikan konsep pariwisata kepada multiple users (pelajar,
profesional, akademisi, pengusaha, pemerintah dan media), suatu definisi pasar
atau komunikasi mungkin merupakan jalan terbaik untuk memahami kepariwisataan
sebagai sebuah maksud ataupun aksi (Nielsen, 2001:16). Sebagai contoh,
kepariwisataan mungkin menjadi sebuah bentuk ekspresi diri (seperti seni,
tulisan, orasi); atau suatu keinginan untuk melatih banyaknya kebebasan yang
dinikmati individu dalam masyarakat modern (kebebasan berbelanja, kebebasan
bergerak/berpindah, kebebasan menikmati pengalaman yang sama sekali berbeda dan
baru, dll); dan untuk mengkomunikasikan keinginan masa kini atau masa mendatang
dalam aktifitas komersial, seperti aesthetik, fisik, virtual, riil dan
perjalanan emosional dan bahkan keputusan/penentuan berwisata itu sendiri.
Definisi ini sebagai batas dari definisi experiential dan psychological,
dan tentunya menyentuh sisi bisnis/komersial dari kepariwisataan. Hal ini tidak
melulu pada tataran kritis, tetapi malah mengenalkan beberapa elemen kepada
suatu definisi pariwisata atas dasar kebebasan fundamental, dan dengan nilai
dualisme dari physical/aesthetic, dan self/other-nya (yang masih bisa
diperdebatkan), maka akan mampu mengkomunikasikan keinginan di hati wisatawan
melalui pengalaman dan motivasi mereka, sehingga sampai pada pengambilan
keputusan untuk melakukan perjalanan. Para ahli pemasaran pariwisata akan
memahami hubungan kritis antara perilaku wisatawan/konsemen dan ekspresi
keinginan bebas ini. Definisi seperti ini memperkenalkan konsep waktu (yang
memawakili potensi pariwisata masa kini dan mendatang), dan konsep pariwisata
nyata melawan yang virtual.